Strategi Bimbingan Tesis; Formalitas atau Transformasi Akademik?
Oleh: A. Rusdiana
Perkuliahan semester ganjil tahun akademik 2025/2026 dimulai 1 September hingga 29 Desember 2025. Pada jenjang S1 penulis mengampu mata kuliah Metode Penelitian, sedangkan di S2 mengajar Manajemen Sumber Daya Pendidikan serta Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Fenomena yang menonjol dalam bimbingan tesis pasca ujian proposal adalah masih ditemukannya praktik gratifikasi, lemahnya dokumentasi, hingga inkonsistensi kualitas bimbingan. Teori strategi bimbingan tesis dapat ditopang oleh perspektif Job Demand--Job Resources Theory (Bakker & Demerouti) yang menekankan keseimbangan beban akademik dan dukungan sumber daya untuk meningkatkan work engagement. Wenger melalui konsep community of practice dan Vygotsky dengan social learning theory menguatkan bahwa bimbingan adalah ruang kolaboratif membangun identitas akademik. Tanpa strategi yang jelas, bimbingan hanya menjadi formalitas belaka.
Adapun gap yang perlu dijembatani adalah kualifikasi akademik dosen dan "mind match" dengan mahasiswa. Tujuan tulisan ini adalah menguraikan strategi bimbingan tesis yang tidak hanya memenuhi standar prosedural, melainkan juga menghasilkan transformasi akademik. Atas dasar itu, setidaknya terdapat enam pilar pembelajaran dari strategi bimbingan tesis yang perlu ditegakkan:
Pertama: Integritas dan Kepatuhan Aturan; Bimbingan tesis harus mengacu pada regulasi, termasuk larangan menerima pemberian dari mahasiswa pasca ujian yang dikategorikan sebagai gratifikasi. Dosen dituntut konsisten menjaga marwah akademik, sementara mahasiswa belajar kesabaran dan tawakal dalam menghadapi proses. Dengan demikian, hubungan bimbingan tidak terkontaminasi motif non-akademik, melainkan fokus pada penguasaan teori dan metodologi penelitian. Liahat Syarat Bimbingan;
Kedua: Dokumentasi Lengkap dan Transparan; Notulen rapat dosen menetapkan minimal tiga kali bimbingan proposal dan delapan kali bimbingan tesis dengan catatan tertulis yang terdokumentasi. Praktik ini bukan sekadar administratif, melainkan sarana refleksi bagi mahasiswa untuk menilai progres, dan bagi dosen untuk menilai kesungguhan mahasiswa. Transparansi catatan juga menjadi bukti integritas akademik yang dapat diaudit.
Ketiga: Pendekatan Dialogis dan Humanis; Bimbingan tidak boleh sekadar instruksi satu arah. Dosen yang serius, penuh kasih, dan dialogis membantu mahasiswa menginternalisasi teori dan metode penelitian. Melalui community of practice, mahasiswa dilatih menyampaikan ide secara terbuka dan mengasah soft skills komunikasi akademik. Pendekatan humanis ini membentuk iklim bimbingan yang produktif dan berorientasi pada pertumbuhan.
Keempat; Penjadwalan Terukur dan Target Penguasaan; Bimbingan yang terjadwal mendorong mahasiswa lebih disiplin. Target bukan sekadar selesai menulis, melainkan menguasai metodologi, analisis data, serta argumentasi akademik. Prinsip job demand--job resources relevan di sini: tuntutan penelitian harus diseimbangkan dengan dukungan sumber daya dari dosen, laboratorium, maupun akses jurnal.
Kelima: Proporsionalitas dan Objektivitas Penilaian; Keputusan kelulusan sidang tidak boleh bergantung pada kompromi atau kedekatan, melainkan pada kelayakan karya. Dosen perlu bersikap objektif dan proporsional, sekaligus mendorong mahasiswa untuk aktif dalam seminar, publikasi, dan kegiatan akademik lainnya. Dengan demikian, bimbingan berkontribusi pada branding akademik mahasiswa maupun institusi.