Strategi Integritas dalam Bimbingan Tesis; Seremonial atau Pembelajaran Bermakna?
Oleh: A. Rusdiana
Perkuliahan semester ganjil tahun akademik 2025/2026 dimulai 1 September hingga 19 Desember 2025. Pada jenjang S1, penulis mengampu mata kuliah Metode Penelitian, sementara pada S2, Manajemen Sumberdaya Pendidikan serta Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Fenomena yang selalu muncul adalah bagaimana bimbingan tesis seringkali dipersepsikan hanya sebagai formalitas: minimal delapan kali pertemuan dengan tanda tangan dan catatan. Padahal, inti dari bimbingan adalah strategi integritas, baik dari sisi dosen maupun mahasiswa. Secara teoretis, strategi integritas dalam bimbingan dapat dipahami melalui beberapa kerangka. Teori Job Demand–Job Resources menekankan pentingnya keseimbangan antara beban dan sumber daya dalam menciptakan work engagement. Wenger dengan konsep community of practice menegaskan bahwa pembelajaran tumbuh dalam komunitas, termasuk relasi dosen–mahasiswa. Sementara Vygotsky dengan social learning-nya menyatakan, interaksi yang jujur, dialogis, dan konsisten menjadi syarat terbentuknya kapasitas akademik.
Namun di lapangan, sering terjadi “gap”: dosen yang sibuk, mahasiswa yang mencari jalan pintas, hingga praktik gratifikasi setelah ujian. Di sinilah “mind match” kualifikasi akademik diuji. Jika pekerjaan dikerjakan bukan oleh ahlinya, kehancuran hanya soal waktu. Tulisan ini bertujuan menunjukkan bahwa perubahan akademik harus dimulai dari strategi integritas dalam bimbingan tesis, yang dapat dipetakan ke dalam lima pilar pembelajaran. Mari kita ekplorasi satu-persatu:
Pertama: Pilar Ketaatan pada Aturan; Bimbingan tesis harus mengacu pada aturan akademik: minimal delapan kali pertemuan dengan catatan jelas. Integritas terlihat dari kepatuhan pada prosedur, bukan sekadar memenuhi formalitas. Dosen yang konsisten menulis masukan, dan mahasiswa yang serius memperbaiki naskah, menumbuhkan budaya disiplin. Termasuk di dalamnya, menolak segala bentuk pemberian setelah ujian, karena itu masuk kategori gratifikasi.
Kedua: Pilar Dialogis dan Kasih Sayang Akademik; Integritas bukan berarti kaku. Dosen yang sabar, terbuka, dan penuh kasih sayang menjadikan bimbingan sebagai ruang belajar bermakna. Mahasiswa tidak sekadar mengoreksi tata bahasa, tetapi belajar berpikir sistematis, menghubungkan teori, dan mempertahankan argumen. Sementara dosen menjadi teladan kerja keras dan kesungguhan.
Ketiga: Pilar Disiplin Waktu dan Konsistensi; Bimbingan yang sukses bergantung pada konsistensi jadwal. Dosen yang hadir tepat waktu, mahasiswa yang tidak menunda revisi, keduanya menciptakan ritme akademik yang sehat. Strategi ini menanamkan kebiasaan kerja profesional—modal penting bagi lulusan untuk menghadapi tuntutan global.
Keempat: Pilar Kejujuran dan Penilaian Objektif; Dalam bimbingan tesis, integritas ditunjukkan melalui keberanian memberi penilaian objektif. Dosen menilai kemampuan mahasiswa sesuai kualitas karya, bukan faktor eksternal. Mahasiswa belajar bahwa keberhasilan ilmiah tidak bisa diperoleh dengan manipulasi, melainkan kerja nyata.
Kelima: Pilar Penguatan Soft Skills dan Branding Akademik; Strategi integritas dalam bimbingan juga berfungsi menumbuhkan soft skills: komunikasi, manajemen waktu, ketekunan, dan resiliensi. Bimbingan yang dijalankan dengan integritas memberi branding akademik pada institusi—bahwa lulusan benar-benar berkualitas, bukan sekadar mengantongi ijazah.
Strategi integritas dalam bimbingan tesis bukan sekadar urusan teknis, tetapi inti dari transformasi akademik. Lima pilar—ketaatan aturan, dialogis penuh kasih, disiplin konsisten, penilaian objektif, dan penguatan soft skills—membentuk fondasi perubahan dari diri sendiri. Rekomendasi bagi para pemangku kepentingan pendidikan: 1) Institusi perlu memastikan sistem bimbingan yang transparan dan terdokumentasi; 2) Dosen harus menjadi teladan integritas melalui konsistensi, kejujuran, dan komitmen waktu; 3) Mahasiswa dituntut belajar sabar, tawakal, serta bertanggung jawab penuh atas karyanya; 4) Pengawas internal (seperti Irjen) perlu terus mengawasi praktik gratifikasi agar integritas tetap terjaga.