Inquiry Mengubah Tantangan Jadi Pembiasaan; Apakah Mahasiswa Siap?
Oleh: A. Rusdiana
Mahasiswa baru kerap terkejut ketika diminta menulis esai publikasi, apalagi bila harus dipublikasikan di ruang terbuka seperti Kompasiana. Ada rasa minder, bingung, bahkan cemas. Namun, di situlah letak nilai dari pembelajaran berbasis inquiry. Tantangan yang semula dianggap beban, lambat laun berubah menjadi kebiasaan. Bahkan, pada akhirnya menjadi kebanggaan tersendiri ketika tulisan mereka diapresiasi publik. Proses inilah yang menumbuhkan identitas akademik sejak awal kuliah.
Dalam salah satu artikelnya, David L. Haury (1993) menegaskan bahwa inquiry adalah perilaku yang muncul dari rasa ingin tahu manusia untuk menjelaskan fenomena secara rasional. Metode ini bukan sekadar strategi belajar, melainkan cara membentuk kebiasaan berpikir ilmiah yang kritis, reflektif, dan tahan uji. Dari pengalaman mengajar, saya merumuskan lima pilar pembelajaran inquiry yang relevan bagi mahasiswa pemula. Pertanyaannya: apakah mahasiswa Mengubah Tantangan Jadi Pembiasaan? Mari kita bedah melalui lima pilar pembelajaran berbasis inkuiri:
Pertama: Pilar Keberanian: Melangkah ke Dunia Baru; Langkah pertama dalam inquiry adalah keberanian menghadapi tantangan. Mahasiswa baru sering merasa belum siap menulis esai atau membuat poster ilmiah. Namun, justru dari keterkejutan itu lahir mentalitas tahan banting. Mereka belajar bahwa dunia akademik menuntut keberanian mengambil risiko, bukan sekadar mengikuti instruksi. Dengan keberanian, mahasiswa berlatih mengatasi rasa takut dan mulai percaya diri pada potensi dirinya.
Kedua: Pilar Keterampilan: Dari Menulis ke Publikasi; Menulis ringkasan 500 kata, menyusun poster, hingga memublikasikan esai di media daring bukan sekadar tugas, tetapi latihan keterampilan hidup. Di era digital, keterampilan menyampaikan gagasan ke ruang publik sama pentingnya dengan penguasaan teori. Inquiry membiasakan mahasiswa untuk tidak hanya menguasai konten, tetapi juga piawai menyampaikannya. Publikasi menjadi latihan nyata: ilmu bukan untuk disimpan, melainkan dibagikan agar memberi manfaat.
Ketiga: Pilar Ketangguhan: Mengubah Tantangan Jadi Kebiasaan; Kebiasaan lahir dari proses berulang. Awalnya mahasiswa kewalahan, namun ketika proses publikasi dijalani berulang kali, terbentuklah pola pikir tangguh. Mereka terbiasa menghadapi revisi, kritik, bahkan komentar publik yang tak selalu menyenangkan. Di sinilah inquiry menanamkan ketangguhan: belajar menerima tantangan sebagai peluang penguatan jati diri akademik.
Keempat: Pilar Kritis: Memahami Pengetahuan Secara Mendalam; Inquiry bukan sekadar praktik, melainkan jalan untuk mengasah literasi ilmiah. Mahasiswa diajak memahami perbedaan antara pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) dan pengetahuan sehari-hari (naturalistic knowledge). Mereka juga dikenalkan dengan ontologi, epistemologi, dan metodologi sebagai kerangka berpikir. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya menghafal teori, tetapi memahami logika di baliknya. Pilar kritis inilah yang membedakan pembelajaran inquiry dari metode konvensional.
Kelima: Pilar Identitas: Menjadi Bagian dari Komunitas Ilmiah; Melalui proses inquiry, mahasiswa tidak hanya berlatih menulis atau berpikir kritis, tetapi juga mulai membangun identitas akademiknya. Saat tulisan mereka terbit dan diapresiasi, timbul rasa memiliki: "Saya adalah bagian dari komunitas ilmiah." Identitas ini penting, karena akan menuntun mereka untuk terus berkontribusi, berbagi pengetahuan, dan menjaga integritas akademik.
Metode inquiry seringkali dianggap "berat" bagi mahasiswa pemula. Namun, justru berat itulah yang membentuk karakter. Seperti olahraga yang melatih otot melalui beban, inquiry melatih otak melalui tantangan. Pada akhirnya, mahasiswa yang semula ragu akan terbiasa, bahkan bangga dengan pencapaian mereka.