Belajar dengan Metode Inkuiri: Tantangan dan Peluang bagi Mahasiswa Pemula
Oleh: A. Rusdiana
Ketika pertama kali masuk kuliah, banyak mahasiswa baru merasa dunia kampus sama saja dengan sekolah menengah: duduk, mencatat, lalu menghafal. Padahal, di perguruan tinggi, tantangannya lebih dari itu. Mahasiswa dituntut menjadi insan mandiri, kritis, dan kreatif. Di sinilah metode pembelajaran inkuiri hadir sebagai alternatif yang lebih segar.
Metode inkuiri berakar dari teori belajar konstruktivistik yang meyakini bahwa pengetahuan bukan sekadar ditransfer dari dosen ke mahasiswa, melainkan dikonstruksi melalui pengalaman, pertanyaan, dan interaksi. Namun, kenyataannya di kelas, masih banyak mahasiswa yang terbiasa pasif. Mereka menunggu arahan dosen, bukan memulai pencarian jawaban. Inilah yang menjadi gap antara tujuan pembelajaran abad 21---yang menekankan kolaborasi, berpikir kritis, dan kreativitas dengan realitas kelas yang cenderung monoton.
Agar jurang itu terjembatani, penting bagi mahasiswa pemula memahami komponen-komponen dasar metode inkuiri. Menurut Garton (2005), ada lima komponen utama yang perlu diperhatikan: Question, Student Engagement, Cooperative Interaction, Performance Evaluation, dan Variety of Resources. Mari kita uraikan satu per satu dengan kacamata mahasiswa baru.
Pwetama: Question: Awal dari Segala Penemuan; Kuliah dengan metode inkuiri selalu dimulai dari sebuah pertanyaan. Pertanyaan ini tidak bersifat remeh-temeh, melainkan mampu menggugah rasa ingin tahu. Misalnya, "Mengapa dalam era digital, plagiarisme semakin marak meski teknologi pendeteksi makin canggih?" Pertanyaan semacam ini menuntut mahasiswa berpikir melampaui teks buku. Jawaban tidak tersedia instan. Di sinilah mahasiswa ditantang untuk mengeksplorasi, menganalisis, bahkan merumuskan sintesis baru. Pertanyaan menjadi kompas intelektual yang menuntun mereka.
Keedua: Student Engagement: Mahasiswa Harus Turun Tangan; Tidak ada inkuiri tanpa keterlibatan aktif. Mahasiswa bukan penonton, melainkan aktor utama. Mereka tidak cukup sekadar mengisi lembar jawaban atau mendengarkan penjelasan. Dalam kelas berbasis inkuiri, mahasiswa harus "turun tangan": mencari data, melakukan observasi, merumuskan hipotesis, hingga menciptakan produk tertentu. Keterlibatan aktif ini membuat kuliah terasa hidup. Mahasiswa tidak lagi mengeluh bosan, karena setiap pertemuan menuntut kontribusi mereka. Seorang mahasiswa bisa menyumbangkan ide melalui presentasi, sementara yang lain bisa mengekspresikan pemahamannya lewat visualisasi grafis atau bahkan video kreatif.
Ketiga: Cooperative Interaction: Belajar Bukan Kompetisi; Mahasiswa sering terbawa pola pikir sekolah menengah, bahwa belajar identik dengan persaingan: siapa yang nilainya paling tinggi, dialah pemenang. Metode inkuiri membalik logika ini. Di kelas, mahasiswa diminta bekerja dalam kelompok, bertukar ide, dan saling menguji argumentasi. Ketika diskusi berjalan, muncul berbagai jawaban yang mungkin sama-sama benar. Dari sinilah mahasiswa belajar bahwa dunia pengetahuan tidak sesederhana benar-salah. Justru keragaman jawaban itulah yang memperkaya pemahaman. Belajar menjadi sebuah perjalanan bersama, bukan perlombaan ego.
Keempat; Performance Evaluation: Produk sebagai Cermin Pemahaman; Â Dalam inkuiri, evaluasi tidak berhenti pada ujian tertulis. Mahasiswa harus menghasilkan sebuah produk sebagai bukti pemahaman. Produk itu bisa berupa makalah, poster, grafik, video pendek, hingga slide presentasi.
Misalnya, setelah membahas isu etika akademik, mahasiswa bisa membuat poster kampanye anti-plagiarisme. Atau, setelah meneliti dampak media sosial pada motivasi belajar, mereka dapat mempresentasikan data dalam bentuk infografis. Melalui produk inilah dosen menilai: sejauh mana mahasiswa benar-benar memahami, bukan sekadar menghafal.