Fenomena korupsi, pengkhianatan janji, dan lemahnya penegakan hukum bukanlah hal haru di negeri ini. Sejak dulu, rakyat sering menyebut para pejabat nakal sebagai tikus kantor atau tikus berdasi. Julukan ini muncul karena kelakuan mereka mirip tikus: rakus, licik, suka bersembunyi, dan sulit diberantas.
Namun, sebuah alegori lama mengajarkan kepada kita bahwa keberadaan tikus-tikus ini tidak bisa dilepaskan dari peran kucing yakni aparat penegak hukum, pejabat pengawas, atau otoritas yang seharusnya menjaga agar tikus tidak merajalela. Sayangnya, alih-alih menindak tegas, kucing seringkali malas, lapar, bahkan bisa disuap.
Kisah Usang Tikus-Tikus  Kantor
"Kisah usang tikus-tikus kantor yang suka berenang di sungai yang kotor, Kisah usang tikus-tikus berdasi yang suka ingkar janji lalu sembunyi."
 Lirik ini menegaskan bahwa praktik busuk para tikus sudah terjadi sejak lama (kisah usang). Mereka biasa berenang di sungai kotor, artinya terbiasa bergelimang dalam praktik kotor seperti korupsi, nepotisme, atau manipulasi anggaran.
Sebagai tikus berdasi, mereka seolah berwibawa di depan publik dengan janji-janji manis, tetapi akhirnya ingkar. Dan ketika kesalahan terkuak, mereka tidak bertanggung jawab, justru bersembunyi di balik  jabatan, kekuasaan, atau bahkan celah hukum.
Dibalik Meja dan Lemari Baja
"Di balik meja teman sekerja, di dalam lemari dari baja."
Kata-kata ini melambangkan cara tikus menyembunyikan hasil perbuatannya. Meja teman sekerja mengacu pada jaringan kolusi: praktik kotor tidak pernah sendirian, selalu ada "teman" di dalam sistem yang ikut menutupi.
Sementara lemari baja melambangkan brankas, rekening rahasia, atau aset tersembunyi hasil dari perbuatan busuk. Semua disimpan rapi, seolah-olah aman, padahal suatu saat bisa terbongkar.