Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya mahasiswa semester 07 prodi PIAUD fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Sunan Giri (INSURI) Ponorogo. Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Whispers of Aokigahara (Part 2 'End')

16 Mei 2025   05:40 Diperbarui: 16 Mei 2025   05:40 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab 4: Potret yang Tak Diambil

Lentera merah itu bergoyang pelan seolah ditiup angin meski udara di hutan begitu mati dan diam. Ryota menatapnya lama, menimbang apakah harus mendekat atau menjauh. Akal sehatnya berkata: jangan sentuh apa pun. Tapi rasa penasaran atau mungkin dorongan yang tak berasal dari dirinya sendiri mendorong langkahnya maju.

Lentera itu tergantung dari dahan rendah. Tak ada tali. Tak ada paku. Hanya... menggantung di udara.

Saat Ryota hampir menyentuhnya, kamera Polaroid di lehernya berbunyi sendiri.

Klik.

Ia mundur refleks. Foto meluncur keluar.

Dengan tangan gemetar, ia mengambilnya. Gambar perlahan muncul. Dan saat bentuknya mulai jelas, napas Ryota tercekat.

Dalam foto itu, ia berdiri di belakang dirinya sendiri.

Wajahnya di sana tampak pucat, dengan mata hitam legam dan mulut terbuka seperti menjerit. Tangan sosok itu mengarah ke lentera merah. Tapi anehnya, Ryota tidak merasa takut... justru tubuhnya terasa lemas, seperti dijangkiti kantuk yang tak wajar.

Ia menyimpan foto itu di saku dan buru-buru menjauh dari lentera, mengikuti tali pendek yang tadi ia pasang. Tapi semakin ia berjalan, semakin hutan tampak berubah.

Pohon-pohon yang tadi berdiri tegak kini terlihat bengkok, seperti melengkung ke arahnya. Kabut mulai turun lebih tebal, menelan pandangan tak lebih dari lima meter.

Kemudian... suara kamera terdengar lagi. Klik.

Ryota berhenti. Tangannya tak menyentuh kamera. Tidak menekan apa pun.

Foto kedua keluar.

Ia menatapnya perlahan. Kali ini, gambarnya menunjukkan sesuatu yang jauh lebih jelas---seorang gadis muda berdiri di tengah hutan, mengenakan seragam sekolah, dengan pita merah di lehernya. Wajahnya tidak asing.

Haruna.

Ia menjatuhkan foto itu. Tidak. Tidak mungkin. Ini hanya permainan pikiran. Hutan ini bermain dengan ingatannya. Tapi... Haruna? Di sini?

Ia mulai lari. Nafasnya memburu. Tidak peduli arah, tidak peduli tali. Ia hanya ingin menjauh dari rasa dingin yang menempel di tulangnya.

Tiba-tiba, ia tersandung akar pohon dan jatuh. Saat mencoba berdiri, ia melihat sesuatu di tanah: selembar foto ketiga.

Bukan dari kameranya.

Ia memungutnya. Dalam foto itu, terlihat dirinya sedang duduk bersila di tengah hutan, dikelilingi oleh puluhan... mungkin ratusan tali kuning yang kusut dan saling melingkar. Wajahnya kosong. Matanya tertutup. Dan di belakangnya berdiri... sesosok pria tua mengenakan topeng rubah, memegang kamera.

Tidak ada suara. Tidak ada angin. Tapi ia bisa merasakan sesuatu menatapnya.

Dan kemudian, dari balik kabut, suara halus menyapa pelan:

"Selamat datang... penulis kematian..."

Bab 5: Rumah Haruki

Suara itu tak berasal dari mulut manusia lebih seperti gema dalam pikiran, pelan tapi merasuk. Ryota mencoba berdiri, menahan gemetar di lututnya. Udara terasa berat. Kabut semakin padat. Tapi samar-samar, di kejauhan, terlihat cahaya kuning keemasan... seperti lampu minyak tua.

Tanpa sadar, kakinya melangkah menuju cahaya itu.

Langkah demi langkah, hutan membuka jalur yang tak pernah ada di peta: jalan tanah kecil yang diapit akar dan batang, menuju sebuah pondok kayu tua, setengah tertutup tanaman rambat. Atapnya miring, dindingnya lapuk, tapi jendela kecilnya memancarkan cahaya hangat.

Pondok itu tak seharusnya ada di sini.

Ryota mendekat pelan, lalu mengetuk pintu dengan hati-hati.

Tok... tok...

Tak ada jawaban. Ia mencoba lagi. Setelah beberapa detik, terdengar suara langkah pelan dari dalam. Pintu kayu terbuka setengah, dan muncul wajah seorang pria tua dengan janggut putih dan mata sipit penuh curiga.

"Siapa kau?" tanya pria itu.

"Namaku Ryota. Aku... tersesat."

Pria itu memicingkan mata. "Tersesat, atau sedang mencari sesuatu?"

Ryota terdiam. Kemudian mengangguk pelan. "Aku ingin tahu... kenapa tempat ini begitu... memanggil?"

Pria itu menghela napas, lalu membuka pintu lebar-lebar. "Masuklah. Aku Haruki. Sudah dua puluh tiga tahun aku tinggal di batas hutan ini."

Pondok Haruki sederhana tapi penuh benda aneh: gulungan tali kuno, patung kayu kecil berbentuk manusia, dan peta Aokigahara dengan garis-garis merah menyilanginya. Di dinding, tergantung foto-foto lama: beberapa di antaranya memperlihatkan para pendaki... dan di belakang mereka, sosok bayangan samar yang tak mereka sadari.

Ryota memandangi semuanya dengan campuran takjub dan takut.

"Apa semua orang yang datang ke sini... melihat hal yang sama?" tanyanya.

"Tidak," jawab Haruki. "Hutan ini memperlihatkan wajah yang berbeda pada setiap orang. Tapi satu hal yang pasti: hutan ini tidak membunuh. Ia hanya... memantulkan."

"Memantulkan?"

"Isi hatimu. Penyesalanmu. Dosa yang kau bawa. Mereka menjadi nyata. Menjelma. Jika kau datang membawa luka, maka luka itu akan berdaging."

Ryota menunduk. "Aku kehilangan adikku di sini. Dia... bunuh diri, tahun lalu."

Haruki menatapnya lama. "Haruna?"

Ryota menegang. "Kau... mengenalnya?"

"Tak secara langsung. Tapi aku menemukan tas sekolahnya di dekat pohon tua yang disebut 'Pintu Langit'. Ia meninggalkan surat. Tapi bukan yang dikirim ke polisi."

Ryota terdiam. Matanya perlahan membasah.

Haruki bangkit dan mengambil kotak kayu dari rak. Ia membukanya, lalu menyerahkan sebuah kertas lusuh. Tulisan tangan Haruna, terguncang tapi jelas:

"Abang, jika kau membaca ini, berarti kau sudah sampai di sini. Jangan lanjut. Jangan cari aku. Hutan ini membuat luka jadi nyata. Jangan biarkan lukamu menjadi pintumu sendiri."

Ryota membaca berulang kali. Kata-kata itu seperti belati yang pelan-pelan menusuk.

Haruki duduk kembali. "Masih bisa kembali, Nak. Tapi jika kau teruskan, kau akan sampai ke pusat. Tempat di mana hutan berhenti meniru... dan mulai memakan."

Ryota menggenggam surat Haruna.

"Aku tak bisa pulang... sebelum tahu kebenaran."

Haruki menghela napas panjang. "Kalau begitu, kau harus bersiap. Karena mulai saat ini... hutan tidak akan menganggapmu tamu lagi."

Bab 6: Pintu Langit

Subuh merayap perlahan di balik pepohonan Aokigahara, tapi cahaya matahari nyaris tak menembus ke dasar hutan. Ryota berdiri di ambang pintu pondok Haruki, mengenakan mantel lama yang dipinjam dari si tua itu. Di tangannya, terselip foto Haruna, potongan peta buatan tangan, dan seutas tali merah yang Haruki sebut sebagai "pengikat jiwa."

"Pintu Langit," kata Haruki, "bukan tempat sebenarnya. Ia muncul hanya bagi yang dicari, atau yang mencari terlalu dalam. Kau harus tahu, setelah melewatinya, tak semua bisa kembali."

Ryota mengangguk. Tak ada rasa ragu di matanya, hanya kekosongan yang telah lama tumbuh jadi tekad.

Ia berjalan melewati jalur yang ditandai Haruki, mengikuti akar-akar pohon besar yang melengkung seperti jari-jari mengarah ke pusat. Kabut tebal seperti tirai hidup, menyibak hanya saat ia melangkah, lalu kembali menutup seperti menelan jejaknya.

Tiga puluh menit kemudian, ia melihatnya.

Sebuah pohon tua berdiri di tengah tanah yang lebih tinggi, akarnya mencuat seperti singgasana. Di depannya ada batu besar dengan ukiran simbol spiral dan mata, yang sama seperti yang pernah ia temui. Di bawah pohon itu, menggantung tali-tali kuning usang, ratusan jumlahnya---bekas tali para pendaki yang tak pernah kembali.

Namun yang membuat Ryota menahan napas adalah... lubang di pangkal pohon, cukup besar untuk dimasuki orang dewasa. Gelap, tak berdasar.

Inikah... Pintu Langit?

Udara berubah. Tidak dingin, tapi sunyi. Sunyi yang bukan karena tak ada suara, tapi karena semua suara ditelan.

Ryota perlahan mendekat. Tapi saat ia menyentuh akar pohon, sebuah bisikan masuk ke telinganya bukan dari luar, melainkan dari dalam kepalanya.

"Masih bisa kembali, Ryota..."

Itu suara Haruna.

Ia menggigit bibir, menahan air mata. "Aku... hanya ingin tahu kenapa."

Langkahnya maju. Ia merangkak masuk ke lubang itu, membiarkan kegelapan menelan seluruh tubuhnya.

Di dalam, dunia berubah.

Tidak ada tanah. Tidak ada akar. Hanya lorong panjang berisi cermin-cermin kabut, dan dalam tiap permukaan cermin, Ryota melihat versi dirinya marah, kecil, menangis, tertawa, membenci... dan satu versi yang berdarah-darah, menggenggam pisau dan menatapnya balik.

Setiap langkah membawa gema tangisan dan jeritan. Tapi bukan dari dirinya dari orang lain. Mungkin ratusan. Mungkin ribuan. Mereka yang pernah datang... dan tak pernah pulang.

Akhir lorong itu membawa ke ruang terbuka. Di tengahnya berdiri sosok Haruna, mengenakan seragamnya, tapi tubuhnya setengah transparan, seperti asap yang membentuk wajah.

"Kenapa... kau datang, Bang?" tanyanya lirih.

Ryota melangkah maju. "Karena aku gagal menjagamu. Aku ingin menebusnya."

"Hutan ini bukan tempat untuk menebus," jawab Haruna. "Tapi untuk memaafkan... atau melupakan."

Wajah Haruna mulai pecah seperti kaca, berubah menjadi bayangan-bayangan lain seorang pria tua yang menangis, seorang anak kecil memeluk boneka, seorang wanita dengan mata kosong. Mereka semua... pantulan luka.

Dan hutan mulai runtuh.

Langit-langit kabut pecah, tanah terbelah, cermin hancur. Ryota berlari menuju Haruna, mencoba menggenggam bayangannya. Tapi sebelum ia menyentuh, segalanya putih.

Ia terbangun dengan napas tersengal, terbaring di samping pohon tua. Lentera Haruki tergantung di atasnya.

Di genggamannya, hanya tersisa selembar foto: Haruna tersenyum, berdiri di depan sekolah mereka. Tidak ada kabut. Tidak ada darah. Hanya kenangan yang utuh.

Ia menangis pelan. Bukan karena kehilangan. Tapi karena akhirnya bisa melepas.

Bab 7: Jalan Pulang

Angin pagi menyentuh kulit Ryota seperti pertama kali dalam hidupnya. Udara Aokigahara tak lagi menusuk. Kabut telah menipis, dan sinar matahari menari malu-malu di sela dedaunan.

Ia duduk bersandar di pohon tua, tubuhnya lelah namun ringan. Tak jauh darinya, lentera milik Haruki masih menyala redup, seolah menunggu.

Ketika Ryota berdiri, sesuatu terasa berbeda. Dunia hutan tak lagi mengintai. Pohon-pohon tampak biasa. Sunyi yang mencekam telah berganti menjadi keheningan damai.

Ia mulai berjalan, mengikuti tali merah yang entah sejak kapan kembali terulur di tanah, membimbingnya keluar. Langkahnya pelan, namun pasti.

Di tengah perjalanan, ia bertemu kembali dengan pondok Haruki namun kali ini kosong. Pintu terbuka. Rak-rak berdebu. Lentera di dinding padam. Tak ada tanda kehidupan, seolah tempat itu hanya pernah ada untuk satu malam.

Di atas meja kayu, tertinggal satu catatan:

"Terima kasih telah memilih melepaskan, bukan menghapus. Selamat pulang, Ryota." Haruki

Tangannya gemetar saat menyentuh kertas itu, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum. Kecil. Rapuh. Tapi nyata.

Langkahnya dilanjutkan ke arah jalan keluar. Pohon-pohon kini terlihat seperti penjaga yang menunduk, bukan monster yang mengintai. Dan di kejauhan, ia melihat sinar terang: batas hutan.

Saat Ryota menembus batas itu dan kembali ke dunia luar, bunyi kehidupan menyambutnya: suara burung, langkah kaki di jalan setapak, dan suara seorang  yang memanggil kawannya.

Ia menoleh ke belakang. Hutan Aokigahara berdiri seperti biasa diam, tua, dan menunggu.

Tapi Ryota tahu, ia tak akan kembali lagi. Bukan karena takut.

Karena ia telah membawa pulang sesuatu yang lebih penting dari jawaban.

Kedamaian.

END

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun