Mohon tunggu...
Ahlis Qoidah Noor
Ahlis Qoidah Noor Mohon Tunggu... Guru - Educator, Doctor, Author, Writer

trying new thing, loving challenge, finding lively life. My Email : aqhoin@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Laki-laki dengan Obor di Tangan

16 September 2018   21:04 Diperbarui: 17 September 2018   10:51 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku duduk di gubug tengah sawah. Menunggui padi supaya tak dimakan tikus. Sudah sejak jam 9 kulihat tikus sudah mulai berdatangan. Angin dingin semakin mendera kulitku yang hanya berkemul sarung lusuh. Aku tak membawa jaket apalagi topi hangat. Hanya kopi satu termos kecil dan juga jagung bakar yang sempat aku bawa. Rokok aku tak suka. Lebih baik ongkos rokok buat beli telur untuk anak-anakku. 

Ku seruput kopi sambil kunikmati jagung bakar. Pelan-pelan aku amati. Dari jauh ada sosok berjalan ke arahku, membawa obor. Semakin lama semakin mendekat. Bertubuh  tegap. Sepertinya anak muda usia di bawah 40 tahunan. Jalannya agak goyah terkena angin yang semakin keras saja membius malam.

Kudengar langkahnya semakin mendekat ke gubugku. Dari jauh dia memanggil namaku.

"Kang Sarpin, aku kesana ya ?". Seperti aku kenal suara itu. Ya, itu si Mahesa, pengusaha muda yang sedang naik daun di desaku. Anak muda itu memang sering sekali menemaniku di rumah bila dia punya waktu luang, sekedar minum kopi dan makan jajan yang dibawanya yang juga dibagi ke istri dan anak-anakku. Dia anak muda yang baik, peramah, periang, suka menolong dan juga suka merokok. Ha ha ha.

" Ya, ke sini saja", kataku sambil bertepuk memberi arah dia ke gubugku.

Dia duduk setelah bersalam ke aku. Pelan dia  taruh obornya di samping gubugku. Dia keluarkan rokok tapi tak dinyalalakan. Mungkin dia tahu aku bukan perokok jadi agak segan juga.

"Ini ada kopi dan juga jagung, silakan", kataku sambil memberikan benda itu di hapapannya. Dia tersenyum sambil melihat sekeliling yang tentu saja tetap gelap gulita. Hanya ada obor kecil miliknya dan lampu-lampu di kampung seberang yang berkelap-kelip.

Dalam sepuluh menit pertama kami diam, hanya makan dan minum sampai dia mulai bercerita. Dia selalu datang ke aku bila ada masalah dalam bisnis atau keluarganya. Mungkin nyaman saja karena aku bukan tipe laki-laki yang suka mengumbar cerita ke sesama teman.

"Aku tadi bertemu teman SMA-ku, kang. Dia belum menikah sampai saat ini. Katanya masih menungguku ?", dia mulai pemanasan cerita

"Hm..lalu ?"

"Aku sebetulnya juga bingung, tetapi aku kepingin membina hidupku dulu dengan anak-anakku. Mereka butuh aku dan juga butuh biaya hidup"

"Itu semua orang tahu, bahwa kamu lelaki ganteng yang kaya-raya, sukses, duda keren yang banyak dicari gadis dan mak muda "

"Ah, kang Parmin jangan begitu. Hidupku tak sesempurna itu. Aku tak bisa menikmati apa yang kang Sarpin saat ini dan yang lain punya. Selalu ada hal kecil yang menjadi ketidaksempurnaanku "

"Itulah namanya "wang-sinawang" dalam bahasa Jawa, tergantung cara kita memandang. Tetapi dari semua yang aku lihat, kamu lebih dari kebanyakan orang. Apa yang kurang dari kamu? Tinggal tunggu waktu saja untuk bertemu jodohmu"

"Kang Sarpin, tahu tidak, aku harus bagaimana ? Aku saat ini dekat dengan seseorang tetapi dia tidak mencintaiku, dia hanya ingin berkawan saja, tak lebih. Aku padahal sangat mengharap dia bisa menerimaku "

"Walah, kalau soal perempuan jangan memaksa dan jangan dipaksa. Mereka tergantung hati masing-masing. Kalau mereka cinta mereka akan datang ke kita, tak usah memakai rayuan segala. Nanti jadi tak baik.",aku mulai memberi sedikit masukan.

" Tapi perempuan yang ini beda kang, dia tidak matre seperti perempuan yang biasanya mendekat ke aku. Mereka hanya memanfaatkan materiku saja."

" Kalau memang kamu sabar ya...berdoa dan tunggu hasilnya ...bisa hitung bulan bisa tahun bisa kapan saja. Bila jodoh ya tidak kemana ", kataku sambil menyeruput kopi, " Atau gini saja....coba kapan-kapan kamu ajak ke rumahku perempuan -perempuan itu,biar aku bisa melihat sedikit aura kebaikan mereka. Siapa tahu aku bisa mengobrol sambil melihat kepribadian mereka "

" Kang Sarpin memang Joss.". 

Maka kemudian dua jam telah berlalu. Obrolan kami terus memecah tengah malam sampai pagi menjelang. Tepat pukul 03.00 kami pun beranjak pulang. Dia masih membawa obor dengan tangan kanannya. Obor itu bisa jadi dibuat untuk membakar api unggun saat dia bersama teman SMA nya tadi , sambil mengenang masa lalu. Atau bisa juga obor itu untuk menerangi jalan menuju ke kota mengantarkan perempuan yang dia cintai namun tak bisa menerima cintanya. 

Ah laki-laki pembawa obor itu semakin menjauh dari rumahku. Dia berjalan ke arah kampung seberang. Aku berharap saat dia datang nanti sudah tidak perlu obor tapi sudah membuat keputusan sehingga aku tak perlu lagi menebak karakter calonnya.

Angin semakin dingin, kudengan adzan subuh dan segera kuambil wudhu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun