Mohon tunggu...
ahjab ahjab
ahjab ahjab Mohon Tunggu... -

Pekerja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ramadhan Gundul Pacul

14 Juli 2014   21:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:21 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saya benar-benar harus hening sejenak pada Ramadhan kali ini. Atau saya menafsirkan bahwa Tuhan memang memaksa saya untuk memaknai lagi hidup saya. Menyelami lebih dalam, dan menakar lebih berani. Urusan materi, saya ini payah, padahal inilah yang lebih sering saya pakai sebagai parameter keberhasilan. Maka agar hati tentram, saya harus mencari ukuran lain.
Diawali dengan terkapar di rumah sakit selama 5 hari pada pembukaan puasa Ramadhan akibat typus -saya merasa konyol. Belum masuk ibadah puasa kok malah KO duluan? Saya mencari-cari jawaban kedalam diri: 'Kenapa kondisi saya ini begitu lucu?' Oh, mungkin saja saya salah menakar tiap lipatan, lekuk, dan liku-liku hidup itu sendiri. Bukankah sabar dalam sakit itu juga sama dengan berpuasa? Meski engkau tidak berpuasa saat sakit. Jangan kau menggunakan takaran kasar dalam hidup ini. Sebab sejatinya hidup, adalah hidupnya bathinmu; hidupnya belas kasihmu. Kalau puasa hanya lomba kuat-kuatan menahan lapar dan haus, anak TK juga bisa. Menahan lapar hanya alat agar engkau menjadi orang yang sabar, welas-asih, tidak 'gragas', dsb. Sama halnya dengan menahan sakit saat engkau terkapar tak berdaya.
Kira-kira Tuhan lebih sayang mana: Orang kaya yang rajin puasa plus buka puasa dengan mewah, atau seorang nenek miskin yang terbungkuk -mencari nafkah disiang Ramadhan yang panas tapi nenek itu sudah tak kuat lagi puasa? Tuhan lebih sayang mana: Tukang Siomay yang tidak laku padahal sudah bekerja keras untuk anak-istri; atau seorang pejabat kaya yang haji 10 kali, rajin tahajjud, rajin umroh? Ya Latif, Tuhan Maha Lembut. Rasanya ia tidak akan menakar manusia berdasar kadar egonya: ego ibadah, ego materinya, ego kemasan, dsb. Maka betapa bodohnya jika saya menakar materi sebagai yang primer dalam hidup ini. Terlalu ilusi, amat tahayyul, sungguh fana, meski materi itu juga perlu untuk bertahan hidup. Tapi bukan materi itulah hidup yang sesungguhnya.
Namun demikian, saya merasa seperti anak-anak lugu dengan kepala botak. Yang masih bodoh, "gembelengan", tidak pernah pas dalam mengambil prioritas, main-main saat keadaan genting, membuang yang penting dan menyimpan yang tidak perlu. Maka saya merasa payah jika tidak pernah punya duit, merasa bodoh jika sulit dalam karier. Bertambahnya ilmu menjadi tidak penting; menjadi orang yang 'landhep' bathin dan peka hati juga tidak perlu. Apa gunanya menjadi manusia mulia jika tidak punya mobil banyak? Maka Ramadhan ini sepertinya saya "disuruh" untuk menakar kembali prioritas lahir dan bathin sebisa-bisanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun