Matahari mulai menepi. Langit Surabaya berwarna jingga keemasan ketika sekelompok pegiat sejarah Muhammadiyah melangkah perlahan menyusuri kawasan Tunjungan. Sore itu, Selasa (7/10/2025), mereka sedang menapaki jejak masa lalu --- merekam ulang sejarah yang pernah hidup di jantung kota, di mana dakwah, pendidikan, dan peradaban Islam berkemajuan pernah bertumbuh.
Para pegiat sejarah Muhammadiyah itu adalah Azrohal Hasan, Wildan Nanda Rahmatullah, Ni'matul Faizah, Zahrah Putri Pratiwi, Tanwirul Huda, dan Ahmad Jabir, didampingi Nanang Purwono, sejarawan yang telah menulis beberapa buku sejarah Muhammadiyah.
Tepat pukul empat sore, mereka memulai penyisiran sejarah Muhammadiyah dari Jalan Genteng Muhammadiyah, sebuah kawasan legendaris yang telah lama menjadi saksi perjalanan pendidikan Islam modern di Surabaya.
Nama Jalan Genteng Muhammadiyah tidak lahir tanpa sejarah. Di sinilah Muhammadiyah Surabaya tumbuh dan berakar sejak awal abad ke-20. Pada masa itu, kawasan Genteng dikenal sebagai daerah padat yang menjadi tempat tinggal para saudagar, guru, dan aktivis pergerakan Islam. Dari sinilah semangat pencerahan Muhammadiyah menyebar ke seluruh penjuru kota.
Dua sekolah ternama berdiri gagah di sepanjang jalan ini, yakni SMP Muhammadiyah 2 Surabaya dan SMA Muhammadiyah 10 Surabaya. Keduanya menjadi simbol keberlanjutan nilai-nilai pendidikan berkemajuan yang diwariskan para pendiri.
"Genteng Muhammadiyah memiliki catatan sejarah yang panjang. Dari sinilah Muhammadiyah membangun fondasi intelektual dan spiritual bagi generasi Surabaya," ujar Azrohal Hasan.
Azrohal menuturkan, kegiatan napak tilas sejarah ini sejatinya merupakan bagian dari program Majelis Pustaka, Informasi, dan Digitalisasi (MPID) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
"Kami melakukan kajian sejarah dan sudah menerbitkan beberapa buku. Yang terbaru membahas jejak KH. Ahmad Dahlan di Jawa Timur," jelasnya.
Penyisiran diawali dari Kampung Genteng Tebasan, sebuah wilayah kecil yang menyimpan jejak arsitektur kolonial. Rumah-rumah tua dengan pintu tinggi dari kayu jati dan jendela besar masih berdiri di antara bangunan modern. Catnya memang memudar, tapi kesan klasiknya masih kuat.
"Bangunan-bangunan ini saksi bisu perkembangan Surabaya," tutur Wildan Nanda Rahmatullah, yang mengaku baru pertama kali mengunjungi kawasan itu.