Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bilang Transparansi, Kok APBD Dianggap Rahasia Negara?

3 November 2019   16:01 Diperbarui: 5 November 2019   15:04 1478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sindonews.com

Isu transparasi anggaran selalu sensitif bagi eksekutif maupun legislatif. Pasalnya, agenda pembahasan anggaran yang dilaksanakan secara periodik selalu dikait-kaitkan dengan kecurigaan publik terkait penyimpangan. Dari tengara konsensus terselubung sampai kasus "titip anggaran". 

Yang terjadi di DKI Jakarta, saya yakin, bukan satu-satunya. Di daerah lain pun banyak terjadi. Bahkan mungkin lebih ugal-ugalan. Itu bisa dicermati dari berapa banyak pejabat publik yang bermasalah dengan hukum lantaran terlibat kasus penyalahgunaan anggaran.

Jangan heran pula bila muncul ekspos dugaan penyimpangan anggaran ke publik, eksekutif maupun legislatif acap gelagapan. Gilirannya, mereka biasa berkilah akan melakukan kroscek dulu, Jika makin terdesak, jawaban paling "aman" biasanya ada salah ketik atau salah input.

Fenomena itu sejatinya bisa dilihat dari sulitnya publik mengakses anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Pejabat eksekutif maupun legislatif terkesan tertutup bila dimintai penjelasan terkait APBD. Soal yang ini saya punya pengalaman. Suatu ketika, ada beberapa mahasiswa bertemu legislator. Mereka meminta dukumen APBD untuk mendukung tugas-tugas dari kampus. Karena di website resmi dewan mereka tidak bisa mengaksesnya.

Permintaan mahasiswa itu tak bisa terpenuhi. Legislator itu berkilah jika APBD itu adalah dokumen rahasia negara. Tidak bisa sembarangan diberikan ke publik.

Lha, apa dasar dan alasannya? Karena itu, sebagai jurnalis, saya pun lantas membuat laporan soal kebenaran APBD menjadi rahasia negara? Beberapa pakar pemerintahan saya wawancarai. Semua mementahkan penyataan legislator  itu. Dasarnya jelas, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik khususnya di pasal 9 dan 11 yang mengatur informasi mengenai anggaran.

Fakta itu, menjadi bukti jika legislator sendiri tak banyak tahu urusan legislasi sebagai salah satu fungsi wakil rakyat. Kecurigaan saya pun bertambah. Jika urusan kapasitas dan rekrutmen legislator menjadi masalah. Sehingga mereka kerap kali blunder memberikan pernyataan ke publik.

Di era reformasi dulu, tiga anggata DPRD Jatim pernah mengiklankan APBD Jawa Timur. Mereka Achmad Rubaie, Haruna Soemitro, Farid Alfauzi. Manuver itu dilakukan karena mereka ingin publik lebih mudah dan blak-blakan mengakses anggaran. Biar tahu berapa besar anggaran yang didistribusikan kepada masyarakat.   

Yang lebih keren dilakukan Yoyok Riyo Sudibyo. Bupati Kabupaten Batang periode 2012-2017 itu membuat gebrakan dengan menggelar Festival Anggaran, tahun 2012. Menggandeng Obusmen RI dan didukung Indonesia Corruption Watch (ICW).

Saat bertemu dia pada 6 November 2016, saya agak surprise. Sebab, saya baru tahu kalau Yoyok lulusan Akademi Militer 1994 dan Sekolah Lanjutan Perwira 2004. Yoyok berhenti dari dinas militer dengan pangkat terakhir Mayor.

Dari Festival Anggaran itu, Kabupaten Batang menjadi perbincangan publik. Nama Yoyok Riyo Sudibyo  tiba-tiba melejit sebagai bupati yang punya keberanian membeber anggaran ke publik. Hingga dia mendapat Penghargaan Bung Hatta Anticorruption Award 2015 bersama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

***

Tahun 2013, saya menjadi peneliti The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP). Pengalaman baru selepas resign dari Radar Surabaya (Jawa Pos Group). Saya ikut Program Dukungan Penguatan Peran Media untuk Transparansi dan Advokasi Anggaran. Bekerja sama dengan Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD).

Tujuan utama program ini untuk peningkatan kapasitas insan media dalam memberitakan isu-isu transparansi dan pengelolaan anggaran daerah. Ada Lima provinsi yang menjadi locus dari program ini: Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua, dan Papua Barat.

Saya mendapat tugas di Papua. Saya melakukan rapid assessment, memetakan dan menilai kondisi di lapangan untuk mendapatkan gambaran akurat. Ada empat wilayah pendampingan, yakni, Provinsi Papua, Kabupaten Keerom, Kabupaten Supiori, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Merauke.

Hasilnya, masalah transparansi dan advokasi anggaran sangat dibutuhkan di Papua. Mereka tak bisa mengandalkan peran wakil rakyat. Selain kelewat tidak tajam jika menyoroti anggaran, mayoritas di antara mereka sulit sekali ditemui.

Saat mewawancarai wartawan media nasional di restoran dan waralaba makanan internasional di Kota Jayapura , di samping saya seorang pejabat publik Kabupaten Mamberamo Raya. Pejabat ini hampir tiap hari kongkow di situ. Dari jam buka pagi hingga petang. Tak ada pekerjaan selain browsing internet, ngobrol bila ada teman, nonton Youtube. Jika lelah, dia pun tertidur di mejanya. Saya pun jadi bertanya, lha kalau hampir tiap hari di waraaba makanan, berapa kali dia bertemu dengan rakyatnya? Bagaimana di merespons soal isu-isu anggaran?

Dari terjun ke lapangan hampir dua pekan, saya memberikan rekomendasi: harus ada peningkatan kemampuan, ketrampilan membaca dan menganalisis anggaran. Berikut mengetahui siklus penganggarannya. Ketrampilan tersebut sangat membantu jika aparat pemerintah daerah tidak amanah menjalankan tugasnya. Proyek-proyek tak sesuai bestek bisa diklarifikasi. Distribusi anggaran untuk pelayanan publik bisa dipantau. Prosedur pengelolaan dan pemanfaatan anggaran tidak bisa dimainkan seenaknya. Dengan begitu, kontrol sosial pun bisa berjalan efektif.

Kasus-kasus yang sangat mungkin bisa dicermati, pertama, porsi pengeluaran anggaran belanja rutin yang lebih besar dibandingkan pembangunan. Kedua, daya serap anggaran yang rendah yang merupakan masalah yang terus  terjadi setiap tahunnya. Ketiga, perencanaan anggaran yang lemah.

Topik pilihan Kompasiana  soal Awasi Anggaran ini sangat relevan diperbicangkan. Saya berharap, hal ini bisa menjadi snowball effect (efek bola salju) untuk mendorong kesadaran piblik mencermati masalah anggaran di daerah. Bisa menjadi trigger, memicu publik mengawasi penggunaan anggaran agar tidak dipakai bancaan para kleptokrat. Semoga. (agus wahyudi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun