Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik Harga Diri

5 September 2019   20:55 Diperbarui: 7 September 2019   17:55 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Di mana harga diri kita kalau diinjak, dihina, dilecehkan begini, hah?!"

Istilah "harga diri" seringkali saya dengar dan baca. Keributan pun bisa berujung pada "harga diri". Pokoknya, kalau sudah sampai pada "harga diri", bisa runyam persoalannya. 

Saya mengerti bahwa setiap orang memiliki harga diri masing-masing. Harga diri itu harga mati. Harga diri itu tidak bisa ditawar atau diganti.

Ketika sekian orang berkumpul menjadi sebuah kelompok, harga diri pun menjadi kolektif. Harga diri kolektif, kira-kira begitu. 

Berkawan dengan sesama anggota kelompok sendiri. Bekerja dengan sesama anggota kelompok sendiri. Berkegiatan atau berdiskusi-berdialog mengenai apa pun dalam kelompok sendiri. Harga diri semakin tinggi.

Ketika berada dalam kelompok sendiri, kecenderungan yang terjadi ialah merasa kelompok sendiri-lah yang paling unggul. Sebaliknya, menduga, mencurigai, bahkan menghakimi kelompok lainnya tidak memiliki keunggulan apa-apa.

Mungkin sebuah fanatisme yang berlebihan (over dosis), termasuk fanatisme terhadap sosok atau tokoh. Sosok "seseorang" yang terlalu dipuja pun berpotensi sebagai peningkat stamina "harga diri" bagi pemujanya. Aduhai nian!

Kelompok itu kemudian mendapat sebuah identitas yang disebut suku, agama, ras/etnis, dan golongan, semisal almamater. Dalam skala negara, jadilah harga diri bangsa-negara. Alangkah!

Karena bukan berlatar pendidikan bidang Sosial-Politik, belum genap sepuluh tahun terakhir saya mengetahui adanya istilah "politik identitas". Istilah ini benar-benar bergema dalam ingatan saya adalah ketika Pilgub DKI 2017.

Dalam Pilpres 2019 lalu saya menyaksikan realita "harga diri" yang dikemas dalam golongan, baik golongan pendukung 01 maupun 02. Saling menjelekkan antarkubu hingga di kalangan akar rumput. Entah "harga diri" yang macam mana lagi yang benar-benar rentan perpecahan itu.

Stabilitas Harga Diri
Seumur-umur, saya seringkali menyaksikan bahwa harga diri menjadi semacam kasta tertinggi, baik secara personal maupun sosial-nasional. Sentimenisme, pertengkaran, perkelahian, bahkan peperangan pun mudah terjadi atas nama harga diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun