Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ada Apa dengan Pantai De Locomotief di Sungailiat?

14 Desember 2018   19:42 Diperbarui: 15 Desember 2018   17:16 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di pantai milik seorang alumni SD-SMP Setia Budi Sungailiat ini, malam pun tetap memberi kesempatan (peluang) untuk berwisata pantai. Buka pada pkl. 08.30 dan tutup pada pkl. 24.00. Tanpa ongkos parkir, tiket masuk Rp5.000,00 per orang. Tiket bisa disimpat untuk dikonversi atau ditukar dengan makanan laut (seafood) di restoran.  

Sejak memasuki halaman parkir yang berhadapan dengan Gedung Serbaguna "Kirana" yang bisa disewa untuk hajatan tertentu, kesempatan tersebut terbentang di belakang loket masuk. Penerangan buatan atau lampu-lampu!

Bukan karena malam atau sengaja bermain dengan lampu, melainkan memberi penanda bahwa pantai ini terbuka dan tetap aduhai untuk dikunjungi pada malam hari. Di sini pengelola DL berusaha memaksimalkan waktu hingga di puncak malam.

Meski di tengah laut sana tidak ada pemandangan yang aduhai, misalnya pantulan warna-warni lampu gedung-gedung menjulang, kapal-kapal besar lalu-lalang atau sekadar kerlip lampu bagan-bagan (tempat mangkal nelayan untuk mendapatkan ikan), malam tetaplah sebentang waktu yang bisa disisiati untuk berwisata di sekitar pantai selepas kesibukan bekerja pada pagi-sore. Bahkan, bagi sebagian orang, justru malam-lah waktu untuk bekerja, termasuk sebagian pelaku bisnis berskala besar yang biasa bertransaksi-bernegosiasi, atau, para profesional muda kota bercengkerama dengan rekan atau kenalan.   

Lampu-lampu dan Payung-payung 

Malam dan lampu memang sudah jodohnya. Tidak perlu digosipkan macam-macam, apalagi baper (membawa perasaan) karena iri hati (maaf, jomlowan-jomlowati). Bulan pun tidak perlu cemburu.

Dokpri
Dokpri
Lampu-lampu ditempatkan di beberapa payung. Selain berfungsi sebagai penerang jalan beralas konblok, juga berfungsi sebagai penambah estetika untuk malam hari. Artinya, fungsi dan estetika berlaku sekaligus.

Memang, payung menjadi aksesoris lansekap merupakan hal biasa, yang awalnya heboh di Bandung pada era Wali Kota Ridwan Kamil. Tetapi payung di DL ini bentuknya masih tradisional dengan bahan kayu, bahkan seperti payung yang biasa dipakai untuk acara kematian, misalnya diatas keranda atau di kuburan baru dalam tradisi.

Sayangnya (aduhai, saya mulai nyinyir, 'kan?), tidak ada lampu khas Tiongkok (lampion). Mengapa "sayangnya"? Sebab, pada bagian dalam kawasan terdapat pemandangan bernuansa Tiongkok.

Patung-patung Kayu

Sejak masuk seusai membayar tiket masuk di loket, empat patung kuda kayu dan beberapa patung binatang lainnya langsung menyambut pengunjung (saya). Kayu-kayu bukan dipahat seperti biasa, melainkan dari susunan potongan kayu yang diperhalus dan dipoles dengan pengawet kayu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun