Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sekelompok Orang Konyol

1 Mei 2018   10:27 Diperbarui: 1 Mei 2018   11:46 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekelompok Intelektual Konyol

Pelajaran usang pun tidak pernah mengatakan tentang sekelompok intelektual konyol. Tetapi fakta-realitanya ada, dan ironis. Satu saja misalnya, sekelompok orang dalam status tertentu, misalnya pelajar atau mahasiswa dari daerah tertentu, termasuk dari golongan tertentu. 

"Intelektual konyol" itu bagaimana, selain berstatus pelajar atau mahasiswa perantauan itu?

Satu contoh lain, gampangnya begini. Ada sekelompok penulis atau suatu komunitas penulis, sebut saja kelompok A, yang "membenci" sekelompok atau seorang penulis lain. Seberapa bagusnya karya kelompok atau penulis lain, bagi kelompok A, tetaplah tidak bagus. Tidak ada pengkajian atau penelaahan secara intelek karena pada dasarnya hanyalah kekonyolan yang dikedepankan.

Kelompok A sejatinya mengandalkan emosional kolektif (kekonyolan kolektif?) ketika berhadapan dengan suatu karya di luar kelompok A. Bukan karya atau hasil kerja intelektual yang dikedepankan, melainkan "suka-tidak suka" atau "kecewa" menjadi andalan. Artinya pula, rasionalitas memadai sama sekali nihil.

"Membenci", "suka-tidak suka", atau "kecewa" bukanlah bagian dari rasionalitas, melainkan emosionalitas. Tentu saja emosionalitas bertolak belakang (berlawanan) dengan rasionalitas. Orang-orang yang menjunjung tinggi emosionalitas cenderung tidak akan pernah jeli dan kritis terhadap suatu karya intelektual dari orang-orang di luar kelompok mereka.

Tentu saja berbeda ketika anggota kelompok A mengkaji atau menelaah karya sesama anggotanya. Tidak peduli kurang bagus, tetaplah dipuji-puji. Padahal, salah satu persoalan mendasarnya, justru pada kapasitas mengamati karya itu sendiri secara menyeluruh.

Apa boleh buat, orang-orang konyol bisa juga berkelompok sambil mendeklarasikan diri sebagai sebuah komunitas penulis, meskipun kegiatan tulis-menulis pada dasarnya bukanlah berkelompok tetapi individual-personal. Dan, biasanya, kelompok satu ini memiliki anggota yang bermayoritas penulis belum jadi tetapi sudah merasa diri mereka menjadi penulis. "Merasa" memang bukanlah rasional.  

Apakah sekelompok (komunitas) penulis yang emosionalitas ini merupakan fiksi? Oh, tidak.

Apakah sekelompok penulis ini berbeda dengan sekelompok orang konyol yang lebih mengandalkan otot daripada otak? Oh, mirip.

Mirip? Ya, ketika emosi meninggi atau meluap-luap, dampak terdekat adalah detak jantung dan denyut nadi yang juga terlihat pada urat-urat tertentu yang menonjol dan otot-otot yang mengencang. Tidak berbeda dengan sekelompok orang konyol yang suka mengadu otot, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun