Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Murai dan Kacer

12 Desember 2014   06:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:28 4415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu burung liar dan kemudian dipelihara lantas membuat saya terheran-heran adalah burung yang didominasi hitam (mirip gagak) dan ada segaris putih pada bagian sayapnya. Suaranya serak-serak gimana gitu.

Keheranan saya dilatarbelakangi oleh pergaulan dan mitos yang pernah ada di kampung halaman saya (Sri Pemandang Pucuk) mengenai burung yang dinamai murai. Orang kampung kami ‘memvonis’-nya dengan sebutan “burung pembawa sial”. Setiap rumah yang didatangi burung itu (murai) berarti keluarga atau penghuni rumah itu akan mengalami kesialan (kecelakaan, sakit, musibah, bencana, malapetaka, dll.).

Orang-orang kampung kami selalu memergoki burung itu di sekitar kuburan orang Tionghoa, khususnya kuburan yang berada di dekat kampung dalam jumlah satu-dua saja. Sedikit informasi, orang Tionghoa dulu, khususnya yang tinggal di perkampungan, menguburkan orang tua atau anggota keluarganya di dekat rumah atau di kebun. Nah, murai sering sekali berada di kawasan itu.

Karena lokasi persinggahannya di sekitar kuburan, burung itu termasuk dalam golongan “burung pamali” untuk dipelihara. Ada pula kisah orang kampung kami, seorang pemuda Tionghoa bernama Akiun mengalami kegilaan setelah menyantap daging murai. Selain itu, kegilaannya juga gara-gara mengencingi sebuah kuburan (tentunya kuburan orang Tionghoa).

Oleh sebab burung itu berada di kuburan dan kisah orang kampung kami mengenai kegilaan Akiun, jadilah semacam ‘doktrin budaya lokal’ bahwa murai adalah “burung pembawa sial”. Benar-tidaknya, bukanlah hal yang harus saya buktikan secara medis ataupun logis karena saya bukanlah seorang dokter jiwa atau ahli kesialan.

Di samping itu, murai masih memiliki keluarga bernama murai batu. Nama murai batu pun saya tahu dari kawan-kawan kampung saya yang terbiasa dengan tempat bermain di lokasi berbatu gunung (batu granit). Mereka sering memergoki murai batu bermain di sana.

Keheranan saya pertama kali adalah ketika saudara saya (dari Sragen, Jawa Tengah) pindah ke Sungailiat, tepatnya Kampung Batu yang berdekatan dengan kampung halaman saya, dan ‘berburu’ murai untuk dipelihara. Saya, yang waktu itu masih SD, memberi tahu bahwa orang kampung kami pamali memelihara burung itu. Tetapi saudara saya tidak mengerti karena berbeda budaya, bahkan nama burung itu, kata saudara saya, adalah kacer.

Selanjutnya gantian saya pindah ke Jawa, tepatnya Yogyakarta (untuk menempuh pendidikan SMA) tapi sering mudik ke kampung halaman ibu di Karanganyar (Surakarta). Di kampung halaman ibu ada tetangga (pemuda, waktu itu) bernama Slamet (ah, setiap ada nama Slamet, saya selalu ingat ayah saya!). Kebiasaan orang kampung, selain nama asli, juga ada nama panggilan antarkawan. Slamet biasa dipanggil dengan nama Kacer. Lengkapnya Slamet Kacer.

Tapi soal nama Slamet Kacer bukanlah keheranan saya kedua. Keheranan kedua saya adalah ketika orang-orang di Jawa begitu ‘gila’ pada burung murai (kacer) dan murai batu. Beberapa rumah, khususnya penggemar burung, dengan bangga memelihara dan memamerkan burung murai (kacer) dan muria batu mereka. Juga, kata mereka, burung itu mahal.

Mungkin murai (kacer) dan murai batu memang jenis “burung pembawa sial” dalam arti sebenarnya. Sialnya adalah kami (orang kampung Sri Pemandang Pucuk) tidak memahami nilai ekonomi burung itu tetapi hanya menghidupi mitos “burung pembawa sial” sehingga orang daerah lainlah yang bisa mengambil kemujuran (keuntungan) yang dibawanya. Apakah mitos selalu ‘merugikan’ atau ‘menyialkan’?

*******

Panggung Renung, 2014

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun