Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pemimpin di Tengah Tanpa Takhta: Sebuah Tafsir tentang Kepemimpinan Sejati

14 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 13 Oktober 2025   20:50 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin di Tengah Tanpa Takhta (Dokumentasi Pribadi)

Karisma yang demikian tidak menggoda, tetapi menenangkan; tidak meninggikan diri, tetapi mengangkat yang lain. Ia hadir dalam senyum seorang guru yang sabar, dalam langkah seorang pemimpin yang berani menanggung beban bersama, dalam kata seorang tua yang menyejukkan hati yang resah. Dalam dunia yang haus pencitraan, karisma moral menjadi cahaya yang menuntun manusia kembali pada keaslian: bahwa pengaruh terbesar justru lahir dari jiwa yang tidak mencari pengaruh itu sendiri.

Kepemimpinan Tanpa Takhta: Antara Keteladanan dan Pengaruh

Kepemimpinan sejati tidak selalu bersandar pada struktur, sebab kekuasaan formal hanyalah wadah; isi sesungguhnya adalah moralitas dan keteladanan. Pemimpin formal memiliki otoritas struktural, yaitu hak untuk memerintah karena jabatan melekat padanya. Sebaliknya, pemimpin nonformal mengandalkan otoritas moral, yaitu kemampuan untuk menggerakkan karena dipercaya dan diteladani. Jika yang pertama berbicara dengan kekuasaan, maka yang kedua berbicara dengan hati. Dalam dirinya, pengaruh tidak diperintah, melainkan diberikan secara sukarela oleh orang-orang yang melihat kejujuran dan pengabdiannya.

Kepemimpinan nonformal tumbuh dari keteladanan yang konsisten. Ia menekankan being sebelum doing, yaitu menjadi teladan sebelum memberi perintah. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics (terj. W.D. Ross, 1954) menulis bahwa "kebajikan adalah kebiasaan bertindak benar yang diulang dengan kesadaran moral." Pemimpin yang demikian tidak perlu menuntut ketaatan, sebab ketulusannya sudah lebih kuat daripada perintah. Keteladanan menjadi hukum yang hidup, dan moralitas menjadi dasar kepercayaan yang tak tergoyahkan.

Menariknya, banyak pemimpin nonformal yang jika diberi kesempatan memimpin secara formal, justru dapat membawa perubahan yang lebih manusiawi. Hal ini karena mereka telah teruji dalam ruang tanpa panggung, yakni ruang di mana integritas diuji bukan oleh sorotan, melainkan oleh kesetiaan pada nilai. Sebagaimana diungkap oleh Lao Tzu dalam Tao Te Ching (terj. D.C. Lau, 1963): "Pemimpin terbaik adalah mereka yang hampir tak disadari keberadaannya; ketika pekerjaannya selesai, orang akan berkata: kami melakukannya sendiri."

Pemimpin tanpa takhta seperti inilah yang menjadi penyeimbang dunia: ia hadir tanpa ambisi, tetapi meninggalkan jejak yang dalam. Dalam dirinya, kepemimpinan bukan tentang siapa yang berkuasa, melainkan siapa yang mampu menjadi cermin bagi yang lain. Jika suatu hari ia dipercaya memegang takhta formal, kekuasaan itu akan menemukan maknanya, bukan sebagai alat untuk menguasai, tetapi sebagai ruang untuk memperluas cahaya keteladanan yang telah lama ia pancarkan dari tengah kehidupan.

Makna Filosofis: Kepemimpinan sebagai Tanggung Jawab Spiritual

Kepemimpinan sejati bukanlah soal memerintah, melainkan melayani. Ia tidak tumbuh dari ambisi untuk mengendalikan, tetapi dari kesadaran untuk mengabdikan diri. Dalam pengertian ini, kepemimpinan adalah tanggung jawab spiritual, suatu panggilan untuk menyalurkan nilai, bukan sekadar menjalankan kekuasaan. Pemimpin sejati menyadari bahwa ia hanyalah penjaga sementara dari sesuatu yang lebih besar: kemanusiaan, keadilan, dan kehidupan itu sendiri.

Robert K. Greenleaf (1977) menegaskan bahwa pemimpin yang benar adalah pelayan terlebih dahulu; pelayan yang kemudian memimpin karena cinta dan tanggung jawab. Dalam visi ini, kepemimpinan adalah perwujudan kasih yang konkret: hadir bagi yang lemah, mengangkat yang tertindas, dan menuntun tanpa menekan. Sejalan dengan itu, Mahatma Gandhi pernah menulis dalam The Mind of Mahatma Gandhi (1967), "Kekuasaan sejati datang dari kemampuan untuk melayani tanpa pamrih."

Dari perspektif spiritual, memimpin berarti menjaga cahaya agar tidak padam di tengah gelapnya dunia. Pemimpin sejati menjadi lentera, bukan karena ia lebih terang dari yang lain, tetapi karena ia rela terbakar demi memberi arah. Dan sesungguhnya, setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin: di rumah, di ruang kerja, di lingkar kecil pertemanan. Sebagaimana dikatakan oleh filsuf eksistensialis Albert Camus dalam The Rebel (1956), "Setiap tindakan yang menolak ketidakadilan adalah bentuk kepemimpinan."

Refleksi moralnya jelas: kepemimpinan bukan hak istimewa segelintir orang, melainkan tanggung jawab setiap jiwa yang mau menyalakan kebaikan. Memimpin berarti berani menjadi sumber inspirasi, sekecil apa pun lingkupnya. Dan mungkin, justru di sanalah letak kebesaran yang paling tulus, ketika seseorang memilih untuk melayani dalam diam, tetapi meninggalkan cahaya yang tak pernah padam dalam hidup orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun