Di era digital yang serba cepat ini, guru berdiri di persimpangan zaman. Layar gawai dan mesin pencari mampu menyajikan berjuta informasi hanya dalam sekejap, seakan-akan pengetahuan bisa dipetik begitu saja tanpa perantara. Namun, di balik kemudahan itu, ada sesuatu yang tak pernah sanggup dihadirkan oleh teknologi: sentuhan hati manusia. Di sinilah kehadiran guru yang berjiwa guru menemukan maknanya. Ia bukan sekadar pengajar yang terikat profesi, melainkan penuntun yang menyatukan cinta, teladan, dan kebijaksanaan dalam setiap langkah. Teknologi mungkin bisa menyalin kata, tetapi hanya guru yang berjiwa guru yang mampu menyalakan jiwa.
Hati: Mengajar dengan Cinta
Guru yang berjiwa guru tidak hanya menyalakan cahaya pengetahuan di benak murid, tetapi juga menghangatkan ruang hatinya. Ia mengajar bukan sekadar dengan otak yang penuh konsep, melainkan dengan hati yang penuh empati. Sebab pengetahuan tanpa cinta mudah layu, tetapi pengetahuan yang ditanam dengan kasih akan tumbuh menjadi kebijaksanaan.
Bayangkan seorang guru yang rela mendengarkan curhat muridnya di beranda sekolah ketika lonceng pulang telah lama berbunyi. Waktu pribadinya terampas, tetapi ia tahu, di balik cerita sederhana itu, ada jiwa muda yang mencari pengertian. Di situlah jiwa keguruan berbicara: sabar, tulus, dan tak menghitung untung-rugi.
Nel Noddings dalam bukunya The Challenge to Care in Schools (2005) menegaskan bahwa inti pendidikan adalah relasi yang berakar pada kepedulian. Murid merasa bernilai ketika ia dihargai sebagai pribadi, bukan hanya sebagai penerima informasi. Kehadiran hati guru menjadikan sekolah bukan sekadar ruang belajar, tetapi juga ruang bertumbuh sebagai manusia.
Maka, guru yang berjiwa guru adalah mereka yang membiarkan hatinya hadir, dan justru di situlah murid menemukan alasan untuk belajar, bukan karena diwajibkan, melainkan karena merasa dicintai.
Teladan: Hidup sebagai Pelajaran
Guru yang berjiwa guru memahami bahwa setiap geraknya adalah pelajaran yang diam-diam disalin oleh mata murid. Kata-kata mungkin membekas sesaat, tetapi keteladanan hidup meninggalkan jejak yang abadi. Seorang murid tidak hanya mengingat apa yang diajarkan, melainkan siapa yang mengajarkan: bagaimana ia bersikap, bagaimana ia menjaga janji, bagaimana ia menata hidupnya di tengah keseharian.
Di tengah derasnya arus digital, ketika informasi berseliweran tanpa henti, teladan moral guru ibarat mercusuar di laut gelap: menuntun, mengarahkan, memberi arah pulang. Murid belajar tentang kejujuran bukan dari buku, melainkan dari guru yang jujur dalam ucapannya; ia belajar tentang tanggung jawab bukan dari teori, melainkan dari guru yang menepati janji kecil sekalipun.
Albert Bandura dalam Social Learning Theory (1977) menegaskan bahwa manusia belajar banyak melalui observasi dan peniruan. Maka, sikap konsisten seorang guru menjadi kurikulum yang tak tertulis, tetapi lebih kuat dari sekadar kata.