Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

[Novel] Musamus Tubuh Kecil Jiwa Besar, Episode 75-76

1 Oktober 2025   04:15 Diperbarui: 30 September 2025   20:28 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rangga, semut muda yang paling lincah, datang dari sisi rawa membawa potongan rumput tinggi yang biasa tumbuh di dekat air. "Aku melihat dasar rawa mulai mengering di ujung timur. Rumput-rumput ini mulai patah. Tapi masih bisa kita pakai."

Musamus mengelus pundaknya. "Tidak ada yang benar-benar mati selama masih bisa memberi manfaat."

Di kejauhan, burung kasuari pantai melintas perlahan, membelah pagi dengan langkah beratnya yang agung. Di antara dedaunan pandan, suara ikan meloncat di kolam kecil buatan, jejak tangan semut yang menggali, bukan untuk menyimpan, tetapi untuk memelihara kehidupan lain.

Luma mendekat lagi, kali ini dengan serpihan kayu dari batang palem mati. "Kayu ini lunak, mudah hancur," katanya ragu.

"Tapi jika dicampur lumpur dan air liur kita," jawab Musamus, "ia akan menjadi dinding yang kuat. Kita tidak pernah membangun dari yang sempurna. Kita membangun dari yang bersedia menjadi bagian."

Hari-hari di kampung itu terus berlalu, dan rumah-rumah pun tumbuh, bukan seperti bangunan megah di tanah dua kaki, tetapi seperti sulur kasih yang merambat pelan di antara batang rumput dan dinding rawa. Dinding-dinding itu tidak lurus. Atap-atapnya tidak runcing. Tapi setiap bagiannya membawa jejak kaki semut yang telah berkorban, yang telah mencintai.

Sore itu, mereka berkumpul di bawah pohon ketapang tua. Rantingnya menggantung seperti jalinan kisah yang menunggu dituturkan. Burung elang Irian menukik dari kejauhan, lalu melayang perlahan di atas kepala mereka.

Musamus berdiri di atas gundukan lumpur, tubuhnya kecil di tengah padang, tapi suaranya menjangkau hingga ujung rawa.

"Kita telah membangun rumah, bukan dari kayu keras atau logam kuat," katanya. "Kita membangun dari lumpur yang dikeringkan matahari, dari rumput yang dipilih dengan cinta, dari kayu mati yang tak lagi dipuja. Tapi lihatlah, rumah kita berdiri. Bukan karena kekuatan, tapi karena kesediaan untuk memberi, sedikit demi sedikit."

Semua terdiam. Rangga menunduk, lalu berkata pelan, "Kita tidak punya banyak. Tapi kita punya satu sama lain."

Luma menambahkan, "Dan dalam diam kita memberi. Dalam senyap kita merawat."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun