Etika Akses: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Akses terhadap teknologi bukan sekadar soal ekonomi atau infrastruktur---ia menyentuh ranah moral yang lebih dalam. Dalam konteks krisis iklim dan ketimpangan digital, akses ini layak dipandang sebagai 'hak moral' yang tak terpisahkan dari 'keadilan global.' Jika teknologi menjadi kunci untuk bertahan hidup di tengah bencana, maka menutup akses berarti membiarkan sebagian umat manusia berjalan tanpa pelindung dalam badai yang sama.
Karena itu, muncul pertanyaan penting: siapa yang bertanggung jawab? Negara-negara maju yang selama ini paling banyak menikmati hasil revolusi industri dan digital, sekaligus penyumbang terbesar emisi karbon dunia, memikul 'kewajiban etis' untuk mendukung negara berkembang dan komunitas rentan. Hal serupa berlaku bagi perusahaan-perusahaan teknologi besar yang menguasai infrastruktur digital global. Seperti diingatkan Thomas Pogge dalam World Poverty and Human Rights (2002), ketidakadilan global bukan hanya akibat kelalaian, tapi juga karena struktur internasional yang dibiarkan timpang.
Dalam terang ajaran sosial Gereja Katolik, dua prinsip menjadi relevan di sini: 'solidaritas dan subsidiaritas.' Solidaritas menuntut tanggung jawab bersama antarbangsa sebagai satu keluarga manusia; sedangkan subsidiaritas menekankan pentingnya memberdayakan komunitas lokal agar mereka dapat menentukan jalan hidupnya sendiri. Compendium of the Social Doctrine of the Church (2004, no. 179) menyatakan bahwa penggunaan teknologi harus diarahkan untuk melayani martabat manusia dan kesejahteraan bersama.
Jadi, berbicara soal akses digital bukan hanya soal membagi jaringan internet atau alat pintar, melainkan soal 'mengoreksi ketimpangan struktural' yang telah lama dibiarkan. Ini bukan sekadar soal tanggung jawab teknis, tapi panggilan etis untuk menciptakan dunia yang lebih adil, lebih setara, dan sungguh berperikemanusiaan.
Menuju Teknologi yang Membebaskan
Jika teknologi digital ingin sungguh menjadi bagian dari solusi krisis iklim, maka ia harus diarahkan dengan sadar, bukan dibiarkan berjalan di bawah logika keuntungan semata. Prinsip keadilan, transparansi, dan partisipasi harus menjadi fondasi dalam setiap tahap pengembangan dan penerapan teknologi. Siapa yang memiliki akses? Siapa yang dilibatkan dalam keputusan? Dan siapa yang menanggung risikonya? Ini bukan pertanyaan teknis, tapi etis, yang menentukan apakah teknologi menjadi jembatan atau jurang.
Di sinilah pentingnya 'refleksi filosofis.' Filsafat membantu kita tidak terjebak dalam euforia inovasi, melainkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar: Untuk siapa teknologi ini dikembangkan? Nilai apa yang ingin ditegakkan? Apakah kita sedang membebaskan, atau justru menciptakan bentuk baru dari ketergantungan? Seperti diungkapkan oleh Andrew Feenberg dalam Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (2002), teknologi bukanlah netral, tetapi selalu mencerminkan dan memperkuat struktur sosial tertentu. Maka, inovasi hanya layak disebut "kemajuan" bila ia memperluas martabat, bukan hanya mempercepat proses.
Lebih dari sekadar alat, teknologi adalah medan pertarungan nilai, antara kepentingan dan kepedulian, antara kontrol dan kebebasan, antara eksklusi dan inklusi. Dalam dunia yang kian terdigitalisasi, memilih untuk bersikap etis adalah tindakan politis. Maka, tugas kita bukan sekadar menciptakan teknologi yang canggih, tetapi 'mengawal agar ia tetap manusiawi,' agar ia sungguh berpihak pada kehidupan, bukan hanya pada pertumbuhan.
Menuju teknologi yang membebaskan berarti membangun ruang partisipatif, di mana suara dari pinggiran diangkat, dan nilai-nilai keadilan menjadi kompas. Karena teknologi, setinggi apa pun kemampuannya, tetap harus dituntun oleh hati nurani dan tanggung jawab kolektif untuk menjaga rumah bersama: bumi dan seluruh isinya. (*)
Merauke, 17 Juli 2025