Di tengah krisis iklim yang semakin mendesak, digitalisasi sering disambut sebagai harapan baru, menjanjikan efisiensi energi, pemantauan lingkungan real-time, hingga kecerdasan buatan untuk prediksi bencana. Namun pertanyaan mendasar muncul: siapa yang sungguh memiliki akses terhadap teknologi ini? Faktanya, tidak semua wilayah dan komunitas memiliki sarana yang setara; ketika sebagian dunia sibuk membangun sistem energi canggih, sebagian lainnya masih bergulat dengan listrik yang padam dan infrastruktur yang minim. Kesenjangan ini bukan sekadar soal perangkat atau sinyal, tetapi soal keadilan: siapa yang bisa beradaptasi, siapa yang tertinggal, dan siapa yang bahkan tak pernah diajak bicara. Maka, dalam perjuangan iklim, teknologi hanya bisa menjadi penyelamat jika ia sungguh inklusif, jika tidak, ia justru berisiko memperlebar jurang antara yang kuat dan yang lemah, antara yang mampu bertahan dan yang dibiarkan menunggu.
Filsafat Teknologi: Netral atau Tidak?
Teknologi sering kita anggap netral, sebagai alat yang bisa digunakan untuk tujuan baik maupun buruk, tergantung siapa yang memegangnya. Namun, para filsuf seperti Martin Heidegger dan Ivan Illich mengajak kita berpikir lebih dalam dan lebih jujur: benarkah teknologi hanya alat? Atau justru ia membawa cara pandang tertentu terhadap dunia dan manusia?
Heidegger, dalam esainya The Question Concerning Technology (1954), memperkenalkan konsep enframing (Gestell), yaitu cara teknologi modern membingkai dunia sebagai sekadar "cadangan sumber daya" (standing-reserve) yang siap dieksploitasi. Alam bukan lagi dilihat sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya, tetapi hanya dihargai sejauh bisa digunakan. Dalam logika ini, gunung adalah tambang, sungai adalah energi, dan manusia pun bisa direduksi menjadi data.
Senada dengan itu, Ivan Illich dalam Tools for Conviviality (1973) dan Energy and Equity (1974, mengingatkan bahwa teknologi, jika tidak dikembangkan secara adil, dapat memperkuat ketimpangan sosial dan memperbesar dominasi. Menurut Illich, ketika alat-alat produksi dikuasai oleh segelintir elite, maka teknologi bukan lagi pembebas, melainkan alat pembatas. Ia bisa menciptakan ketergantungan baru dan menggantikan relasi manusia dengan mekanisme yang dingin.
Kini, di era digital, pertanyaan itu menjadi semakin genting: apakah teknologi digital sedang menjadi alat emansipasi atau instrumen kontrol? Di satu sisi, internet memberi ruang bagi suara marginal dan menghubungkan komunitas lintas batas. Tapi di sisi lain, ia juga menjadi medan pengawasan masif, pengumpulan data besar-besaran, dan perluasan kekuasaan platform global. Kita perlu waspada agar yang kita sebut kemajuan tidak menjelma sebagai bentuk baru dari penguasaan yang tersembunyi. Karena teknologi bukan sekadar apa yang kita pakai, melainkan bagaimana ia membentuk cara kita melihat, merasa, dan hidup.
Kesenjangan Digital sebagai Ketidakadilan Iklim
Di tengah upaya global untuk menghadapi krisis iklim, satu hal yang sering luput dari perhatian adalah kenyataan bahwa 'tidak semua negara dan komunitas berdiri di garis start yang sama.' Negara-negara berkembang masih tertinggal dalam hal akses terhadap teknologi yang mendukung mitigasi dan adaptasi iklim, mulai dari sistem peringatan dini, pengelolaan data cuaca, hingga infrastruktur energi bersih. Ketimpangan ini bukan hanya soal kekurangan perangkat, tetapi tentang peluang yang hilang untuk bertahan dan bangkit.
Lebih dalam lagi, banyak komunitas rentan, seperti masyarakat adat, petani kecil, perempuan di wilayah pedalaman, tidak memiliki suara dalam perumusan kebijakan iklim yang berbasis data digital. Mereka sering dijadikan objek proyek, bukan subjek perubahan. Padahal, merekalah yang pertama merasakan dampak perubahan iklim: gagal panen, kekeringan ekstrem, banjir bandang, dan kehilangan tanah.
Ketimpangan akses terhadap teknologi ini pada akhirnya memerparah 'ketidakadilan iklim global.' Sebagaimana disoroti oleh Nicholas Stern dalam The Economics of Climate Change: The Stern Review (2007), negara miskin akan menanggung dampak yang jauh lebih besar dari krisis iklim, padahal kontribusi mereka terhadap emisi global sangat kecil. Kini, dengan munculnya teknologi digital sebagai alat utama dalam respons iklim, ketimpangan digital memperdalam luka yang sudah ada, dalam bentuk keterlambatan informasi, lemahnya sistem respons, dan ketergantungan pada negara maju untuk data dan alat.
Jika keadilan iklim sungguh menjadi tujuan, maka 'kesetaraan akses digital' bukanlah bonus tambahan, melainkan bagian utama dari perjuangan. Teknologi iklim tidak boleh menjadi hak istimewa, tetapi jembatan yang merata, menghubungkan yang kuat dan yang lemah, yang punya suara dan yang selama ini dibungkam.
Etika Akses: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Akses terhadap teknologi bukan sekadar soal ekonomi atau infrastruktur---ia menyentuh ranah moral yang lebih dalam. Dalam konteks krisis iklim dan ketimpangan digital, akses ini layak dipandang sebagai 'hak moral' yang tak terpisahkan dari 'keadilan global.' Jika teknologi menjadi kunci untuk bertahan hidup di tengah bencana, maka menutup akses berarti membiarkan sebagian umat manusia berjalan tanpa pelindung dalam badai yang sama.
Karena itu, muncul pertanyaan penting: siapa yang bertanggung jawab? Negara-negara maju yang selama ini paling banyak menikmati hasil revolusi industri dan digital, sekaligus penyumbang terbesar emisi karbon dunia, memikul 'kewajiban etis' untuk mendukung negara berkembang dan komunitas rentan. Hal serupa berlaku bagi perusahaan-perusahaan teknologi besar yang menguasai infrastruktur digital global. Seperti diingatkan Thomas Pogge dalam World Poverty and Human Rights (2002), ketidakadilan global bukan hanya akibat kelalaian, tapi juga karena struktur internasional yang dibiarkan timpang.
Dalam terang ajaran sosial Gereja Katolik, dua prinsip menjadi relevan di sini: 'solidaritas dan subsidiaritas.' Solidaritas menuntut tanggung jawab bersama antarbangsa sebagai satu keluarga manusia; sedangkan subsidiaritas menekankan pentingnya memberdayakan komunitas lokal agar mereka dapat menentukan jalan hidupnya sendiri. Compendium of the Social Doctrine of the Church (2004, no. 179) menyatakan bahwa penggunaan teknologi harus diarahkan untuk melayani martabat manusia dan kesejahteraan bersama.
Jadi, berbicara soal akses digital bukan hanya soal membagi jaringan internet atau alat pintar, melainkan soal 'mengoreksi ketimpangan struktural' yang telah lama dibiarkan. Ini bukan sekadar soal tanggung jawab teknis, tapi panggilan etis untuk menciptakan dunia yang lebih adil, lebih setara, dan sungguh berperikemanusiaan.
Menuju Teknologi yang Membebaskan
Jika teknologi digital ingin sungguh menjadi bagian dari solusi krisis iklim, maka ia harus diarahkan dengan sadar, bukan dibiarkan berjalan di bawah logika keuntungan semata. Prinsip keadilan, transparansi, dan partisipasi harus menjadi fondasi dalam setiap tahap pengembangan dan penerapan teknologi. Siapa yang memiliki akses? Siapa yang dilibatkan dalam keputusan? Dan siapa yang menanggung risikonya? Ini bukan pertanyaan teknis, tapi etis, yang menentukan apakah teknologi menjadi jembatan atau jurang.
Di sinilah pentingnya 'refleksi filosofis.' Filsafat membantu kita tidak terjebak dalam euforia inovasi, melainkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar: Untuk siapa teknologi ini dikembangkan? Nilai apa yang ingin ditegakkan? Apakah kita sedang membebaskan, atau justru menciptakan bentuk baru dari ketergantungan? Seperti diungkapkan oleh Andrew Feenberg dalam Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (2002), teknologi bukanlah netral, tetapi selalu mencerminkan dan memperkuat struktur sosial tertentu. Maka, inovasi hanya layak disebut "kemajuan" bila ia memperluas martabat, bukan hanya mempercepat proses.
Lebih dari sekadar alat, teknologi adalah medan pertarungan nilai, antara kepentingan dan kepedulian, antara kontrol dan kebebasan, antara eksklusi dan inklusi. Dalam dunia yang kian terdigitalisasi, memilih untuk bersikap etis adalah tindakan politis. Maka, tugas kita bukan sekadar menciptakan teknologi yang canggih, tetapi 'mengawal agar ia tetap manusiawi,' agar ia sungguh berpihak pada kehidupan, bukan hanya pada pertumbuhan.
Menuju teknologi yang membebaskan berarti membangun ruang partisipatif, di mana suara dari pinggiran diangkat, dan nilai-nilai keadilan menjadi kompas. Karena teknologi, setinggi apa pun kemampuannya, tetap harus dituntun oleh hati nurani dan tanggung jawab kolektif untuk menjaga rumah bersama: bumi dan seluruh isinya. (*)
Merauke, 17 Juli 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI