Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun di Atas Luka: Negara Harus Bertanggung Jawab Atas Penyingkiran Masyarakat Adat

14 Juli 2025   04:25 Diperbarui: 13 Juli 2025   16:52 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Kampung Wanam, Papua Selatan yang Tergusur (Foto NGK, 16 April 2025)  

"Pembangunan seharusnya tidak menyakiti; tapi di Merauke, pembangunan dimulai dengan luka." Inilah ironi paling telanjang dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dijalankan negara atas nama ketahanan pangan dan energi. Di atas tanah adat seluas lebih dari dua juta hektare, negara menancapkan ambisi industrialisasi pertanian dan bioenergi tanpa menghormati hak paling mendasar: hak hidup masyarakat adat. Alih-alih memberdayakan, PSN Merauke justru menghapus eksistensi mereka yang telah menjaga hutan, rawa, dan tanah warisan leluhur selama berabad-abad. Masyarakat adat tidak pernah dilibatkan; tanah mereka dialihkan secara sepihak, di bawah bayang-bayang intimidasi dan militerisasi. Ini bukan sekadar penggusuran, melainkan penyingkiran sistematis yang dibungkus jargon pembangunan. Ketika pembangunan melukai dan mengabaikan pemilik tanah, maka yang dibangun bukan kesejahteraan, melainkan ketidakadilan yang dilembagakan, dan negara tak bisa terus berlindung di balik dalih "kepentingan nasional" sambil menutup mata terhadap penderitaan masyarakat adat di Merauke.

Masalah Utama: Penyingkiran Masyarakat Adat

Di atas peta negara, tanah adat di Merauke direduksi menjadi sekadar "tanah kosong". Padahal, bagi masyarakat adat Marind, Mandobo, dan Auyu, tanah bukan hanya ruang hidup, tetapi juga ruang roh, ingatan, dan identitas. Dalam praktik penguasaan proyek PSN Merauke, wilayah-wilayah adat ini diserahkan secara sepihak kepada perusahaan-perusahaan raksasa seperti PT Global Papua Abadi dan PT Semesta Gula Nusantara tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara layak (Free, Prior and Informed Consent/FPIC) dari pemilik ulayat.

Dalam laporannya, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (2023) mencatat bahwa proses pengalihan tanah-tanah di distrik Ulilin, Eligobel, Tanah Miring, dan lainnya berlangsung tanpa konsultasi berarti. Bahkan, dalam beberapa kasus, masyarakat diintimidasi dan dipaksa menandatangani dokumen yang tidak mereka pahami di bawah pengawasan aparat bersenjata.

Ini bukan sekadar penggusuran fisik. Ini adalah penyingkiran yang menyeluruh, hak hidup dilumpuhkan, sumber pangan dan obat-obatan dihancurkan, ritus dan situs sakral dikapling menjadi konsesi industri. Identitas budaya yang telah diwariskan lintas generasi tercerabut dari tanahnya. Penelitian Sophie Chao, yang termuat dalam In the Shadow of the Palms: More-than-Human Becomings in West Papua (2022), menunjukkan bahwa masyarakat Marind mengalami "kehilangan makna hidup" akibat hancurnya relasi spiritual antara manusia dan alam karena ekspansi kelapa sawit di Merauke.

Parahnya, semua ini dilegitimasi oleh negara atas nama pembangunan. Negara menjadi aktor utama yang tidak hanya mengabaikan, tapi justru aktif membiarkan pelanggaran hak-hak dasar terjadi. Militer hadir bukan sebagai penjaga keamanan warga, melainkan sebagai alat tekanan atas rakyatnya sendiri.

Jika tanah diambil, budaya dimatikan, dan manusia diabaikan, maka yang kita saksikan bukan pembangunan, melainkan penghapusan yang sistematis. Etnosida yang disamarkan dalam kebijakan ekonomi.

Irama yang Ironis: Pembangunan di Atas Derita

Proyek Strategis Nasional di Merauke dijajakan dalam bahasa mulia: demi ketahanan pangan nasional, swasembada energi, kemandirian agribisnis. Pemerintah menyebutnya bagian dari "langkah strategis memperkuat fondasi ekonomi bangsa." Tapi siapa sebenarnya yang dimaksud "bangsa" dalam narasi ini? Dan siapa yang harus membayar harganya?

Dalam praktiknya, proyek pangan dan energi skala besar ini dijalankan dengan model eksploitatif, menyerahkan jutaan hektare tanah adat kepada korporasi raksasa atas nama investasi. Alih-alih memperkuat ketahanan lokal, proyek ini menghancurkan ketahanan pangan masyarakat adat yang justru telah hidup berdikari selama berabad-abad, bergantung pada hutan, rawa, dan tanah ulayat yang mereka kelola secara arif.

Paradoksnya sangat telanjang: demi menciptakan ketahanan nasional, masyarakat lokal dikorbankan. Demi memberi makan "Indonesia," masyarakat adat Marind dan suku-suku lain di Merauke dipaksa lapar, secara harfiah dan spiritual. Mereka kehilangan sagu, hutan obat, air bersih, tempat berburu, dan kampung halaman. Mereka kehilangan diri.

Sebagaimana dicatat oleh Tania Li dalam The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (2007), pembangunan sering tidak netral; ia membawa proyek "pemaksaan modernitas" atas mereka yang dianggap belum berkembang, sambil menyingkirkan praktik lokal yang dianggap "primitif." Apa yang kita lihat di Merauke hari ini adalah bentuk kontemporer dari logika itu, replikasi kolonialisme dalam wajah modern.

Negara bertindak bukan sebagai pelindung warga, tetapi sebagai broker korporasi. Pemerintah daerah menjadi kepanjangan tangan kekuasaan pusat, dan kekuasaan pusat tunduk pada hasrat modal. Di antara mereka, masyarakat adat terselip, tertindas, dan terusir dari tanah kelahirannya sendiri.

Inilah ironi besar pembangunan kita: membanggakan pertumbuhan ekonomi, tapi dibangun di atas penderitaan. Merayakan surplus pangan, tapi menginjakkan kaki di atas tanah yang basah oleh air mata. Kita harus berani menyebut ini dengan nama sebenarnya, kolonialisme baru atas nama pembangunan.

Tanggung Jawab Negara: Hukum, Etika, dan Kemanusiaan

Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak bisa cuci tangan atas penderitaan masyarakat adat di Merauke. Pembangunan yang mengorbankan pemilik sah tanah ulayat adalah bentuk pengkhianatan terhadap hukum, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh sebuah bangsa yang beradab.

Proyek Strategis Nasional yang dijalankan tanpa prinsip FPIC bukan hanya cacat moral, tetapi juga melanggar hukum nasional dan internasional. FPIC adalah prinsip dasar dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007), Pasal 10 yang menegaskan, "Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak ada relokasi yang boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dari masyarakat adat yang bersangkutan..."

Di tingkat nasional, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua juga menegaskan pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat. Pasal 43 ayat (1) menyatakan, "Pemerintah wajib menghormati, memberdayakan, dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat..."

Namun realitas di Merauke justru menunjukkan sebaliknya. Penggusuran lahan ulayat oleh korporasi yang difasilitasi negara, tanpa partisipasi masyarakat adat, mengindikasikan bahwa negara telah gagal menjalankan mandat konstitusional dan etisnya. Bahkan, dalam banyak kasus, kehadiran aparat militer justru memperdalam trauma kolektif dan ketidakadilan struktural. Menurut James C. Scott, dalam Seeing Like a State (1998), ketika negara memaksakan proyek pembangunan tanpa memahami lokalitas dan relasi sosial setempat, maka yang dihasilkan bukan kemajuan, melainkan "bencana yang direncanakan."

Dengan demikian, negara tak hanya dituntut untuk menarik kembali proyek yang mencederai hak-hak masyarakat adat, tetapi juga wajib melakukan 'rekonsiliasi, pemulihan hak, dan pemulihan martabat.' Keadilan tidak akan hadir selama pembangunan dijalankan di atas luka yang belum disembuhkan.

Ajakan dan Solusi: Jalan Menuju Keadilan

Sudah saatnya negara menghentikan ilusi pembangunan yang melukai. Moratorium total atas proyek PSN Merauke harus segera diberlakukan, hingga ada keterlibatan penuh masyarakat adat melalui prinsip FPIC. Tanpa itu, setiap langkah negara hanyalah kelanjutan dari pola peminggiran yang sistematis.

Pembangunan yang adil 'harus dimulai dari dialog sejati.' Negara, bukan sebagai penentu tunggal, melainkan sebagai fasilitator partisipatif, wajib membuka ruang pengakuan dan pemulihan terhadap 'hak ulayat yang telah dirampas' secara sepihak. Mekanisme penyelesaian konflik tanah, audit independen terhadap proses perizinan, dan pengakuan hak-hak komunal harus menjadi prioritas.

Dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) Pasal 19, ditegaskan: "Negara wajib berkonsultasi dan bekerja sama dengan masyarakat adat melalui institusi perwakilan mereka sebelum mengadopsi dan menerapkan langkah legislatif atau administratif yang mungkin berdampak pada mereka." Demikian pula, UU No. 21 Tahun 2001 Pasal 43 ayat (1), menegaskan bahwa "Pemerintah mengakui, menghormati, dan memberdayakan hak-hak masyarakat adat."

Jika negara benar-benar berniat membangun Papua, maka 'libatkan orang Papua, hormati tanah mereka, dan akui suara mereka.' Jalan keadilan adalah partisipasi, bukan penyeragaman; penghormatan, bukan penggusuran. Masyarakat adat bukan beban pembangunan, mereka adalah pemilik sah dari tanah, pengetahuan, dan masa depan Merauke.

Akhirnya, pembangunan yang mengorbankan tanah, identitas, dan martabat masyarakat adat bukanlah kemajuan, melainkan kejahatan yang dibungkus janji kesejahteraan. Negara tak bisa terus bersembunyi di balik jargon "ketahanan pangan" atau "pemerataan pembangunan" ketika penjaga tanah yang paling awal justru disingkirkan. Luka ini bukan "dampak sampingan", tapi inti dari kegagalan pembangunan yang abai pada keadilan sosial dan ekologi. Tidak ada pembangunan sejati jika dibangun di atas luka dan air mata orang yang dilupakan. Bangsa yang besar berdiri di atas keadilan, bukan penyangkalan. Karena itu, masyarakat pemilik hak ulayat menyerukan solidaritas nasional agar pembangunan tidak lagi berarti penghilangan. Kita semua bertanggung jawab memastikan bahwa setiap jengkal kemajuan Indonesia juga mencerminkan penghormatan kepada yang paling rentan, yang paling terdampak, dan yang selama ini dilupakan: masyarakat adat. (*)

Merauke, 14 Juli 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun