Paradoksnya sangat telanjang: demi menciptakan ketahanan nasional, masyarakat lokal dikorbankan. Demi memberi makan "Indonesia," masyarakat adat Marind dan suku-suku lain di Merauke dipaksa lapar, secara harfiah dan spiritual. Mereka kehilangan sagu, hutan obat, air bersih, tempat berburu, dan kampung halaman. Mereka kehilangan diri.
Sebagaimana dicatat oleh Tania Li dalam The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (2007), pembangunan sering tidak netral; ia membawa proyek "pemaksaan modernitas" atas mereka yang dianggap belum berkembang, sambil menyingkirkan praktik lokal yang dianggap "primitif." Apa yang kita lihat di Merauke hari ini adalah bentuk kontemporer dari logika itu, replikasi kolonialisme dalam wajah modern.
Negara bertindak bukan sebagai pelindung warga, tetapi sebagai broker korporasi. Pemerintah daerah menjadi kepanjangan tangan kekuasaan pusat, dan kekuasaan pusat tunduk pada hasrat modal. Di antara mereka, masyarakat adat terselip, tertindas, dan terusir dari tanah kelahirannya sendiri.
Inilah ironi besar pembangunan kita: membanggakan pertumbuhan ekonomi, tapi dibangun di atas penderitaan. Merayakan surplus pangan, tapi menginjakkan kaki di atas tanah yang basah oleh air mata. Kita harus berani menyebut ini dengan nama sebenarnya, kolonialisme baru atas nama pembangunan.
Tanggung Jawab Negara: Hukum, Etika, dan Kemanusiaan
Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak bisa cuci tangan atas penderitaan masyarakat adat di Merauke. Pembangunan yang mengorbankan pemilik sah tanah ulayat adalah bentuk pengkhianatan terhadap hukum, etika, dan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh sebuah bangsa yang beradab.
Proyek Strategis Nasional yang dijalankan tanpa prinsip FPIC bukan hanya cacat moral, tetapi juga melanggar hukum nasional dan internasional. FPIC adalah prinsip dasar dalam Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007), Pasal 10 yang menegaskan, "Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak ada relokasi yang boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dari masyarakat adat yang bersangkutan..."
Di tingkat nasional, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua juga menegaskan pentingnya perlindungan hak-hak masyarakat adat. Pasal 43 ayat (1) menyatakan, "Pemerintah wajib menghormati, memberdayakan, dan melindungi hak-hak masyarakat hukum adat..."
Namun realitas di Merauke justru menunjukkan sebaliknya. Penggusuran lahan ulayat oleh korporasi yang difasilitasi negara, tanpa partisipasi masyarakat adat, mengindikasikan bahwa negara telah gagal menjalankan mandat konstitusional dan etisnya. Bahkan, dalam banyak kasus, kehadiran aparat militer justru memperdalam trauma kolektif dan ketidakadilan struktural. Menurut James C. Scott, dalam Seeing Like a State (1998), ketika negara memaksakan proyek pembangunan tanpa memahami lokalitas dan relasi sosial setempat, maka yang dihasilkan bukan kemajuan, melainkan "bencana yang direncanakan."
Dengan demikian, negara tak hanya dituntut untuk menarik kembali proyek yang mencederai hak-hak masyarakat adat, tetapi juga wajib melakukan 'rekonsiliasi, pemulihan hak, dan pemulihan martabat.' Keadilan tidak akan hadir selama pembangunan dijalankan di atas luka yang belum disembuhkan.
Ajakan dan Solusi: Jalan Menuju Keadilan