Warna-Warni Wasur
Wasur bukan sekadar tanah datar di antara genangan dan hutan, ia adalah napas yang hidup, denyut yang tak pernah letih berdetak dalam irama alam. Di pagi yang berselimut embun, kampung semut berdiri di celah pohon-pohon rawa yang menjulang seperti para tetua bijak yang melindungi anak cucu mereka. Di sela akar-akar yang mencengkeram bumi, terlihat ribuan semut kecil lalu-lalang membawa remah, rumput kering, dan bulir-bulir tanah, menciptakan simfoni kesibukan yang sunyi namun bermakna.
Langit menyapukan biru pucatnya, dihiasi awan yang berarak pelan, seakan ikut menyaksikan geliat kehidupan di kampung Semut Wasur. Dari kejauhan, warna hijau lumut, cokelat tanah, dan kilau air berpadu dalam lukisan alam yang bergerak---sebuah kanvas hidup yang tak henti berganti warna sesuai musim dan waktu.
"Lihat, Musamus! Bunga rawa itu mekar lagi!" seru Tera, semut muda berjiwa riang, sambil menunjuk kelopak-kelopak kecil berwarna ungu yang tumbuh di dekat mata air.
Musamus mendekat, tubuh kecilnya mengayun ringan di atas daun lebar. Ia tersenyum, matanya menyimpan cahaya masa depan.
"Itu tandanya air bersih masih mengalir dari dalam tanah. Kita masih diberi hidup oleh alam," jawabnya pelan, seolah berbicara dengan tanah dan semut sekaligus.
Di sisi lain, ibu-ibu semut terlihat menjemur sisa rumput kering di atas daun lebar yang dilipat seperti perahu. Anak-anak berlarian di antara batang ilalang, tertawa kecil sambil menghindari tetes embun yang masih menggantung di ujung-ujung helai hijau.
"Musamus, kapan kita panen madu rawa lagi?" tanya Lona, semut betina tua yang dikenal sebagai penjaga tradisi kampung.
"Bulan depan, saat angin selatan datang membawa bunga padang. Tapi kali ini, kita harus lebih hati-hati. Air mulai berubah," jawab Musamus, pandangannya mengarah ke utara, ke tempat di mana air mulai meninggi dan menggenangi akar-akar kecil.
Wasur memang berwarna-warni, bukan hanya dalam arti harfiah, tapi juga dalam ragam kehidupan yang mengisinya. Di sana tinggal semut pekerja, semut penjaga, semut muda, hingga para tetua yang membawa kisah lama dalam nyanyian malam. Mereka hidup bersama burung cendrawasih yang kerap hinggap di pohon-pohon tinggi, bersama katak rawa yang berseru lantang saat malam mulai turun, dan bersama nyamuk-nyamuk yang menari di atas genangan seperti roh-roh kecil penjaga air.