Ada kalanya seorang seminaris mendapati dirinya berjalan lebih lambat dibandingkan rekan-rekannya. Entah karena pergulatan batin yang belum usai, refleksi yang membutuhkan lebih banyak waktu, atau pengalaman hidup yang mengubah cara pandangnya terhadap panggilan. Apa yang tampak sebagai keterlambatan bagi dunia, sering merupakan tangan Tuhan yang sedang mengukir lebih dalam, menguatkan fondasi panggilan agar tidak mudah goyah di kemudian hari.
Seperti emas yang tidak langsung berkilau, tetapi harus melewati bara api yang menyala-nyala, demikian pula mereka yang menempuh jalan lebih panjang dalam pendidikan Seminari. Ujian, penundaan, bahkan ketidakpastian yang mereka alami bukanlah hukuman, melainkan sarana pemurnian. Mereka yang bertahan dalam proses ini bukan hanya sekadar melanjutkan perjalanan, melainkan mengalami transformasi: menjadi pribadi yang lebih matang, lebih peka terhadap kehendak Tuhan, dan lebih siap menghadapi tantangan pelayanan di masa depan.
Dengan demikian, keterlambatan dalam panggilan bukanlah jalan buntu, melainkan ladang subur yang dipersiapkan untuk musim berbuah. Di setiap penantian, ada kesempatan untuk belajar lebih dalam, untuk mengendapkan makna panggilan dengan lebih jernih, dan pada akhirnya, untuk melangkah dengan keyakinan yang lebih kokoh saat tiba waktunya.
Mengubah Perspektif: Melihat Waktu sebagai Bagian dari Rencana Ilahi
Di mata manusia, keterlambatan sering dipandang sebagai kemunduran: sebuah tanda bahwa seseorang tertinggal, tak cukup cakap, atau bahkan gagal. Namun, di mata Tuhan, waktu bukanlah sekadar hitungan hari dan tahun, melainkan proses pembentukan yang tak bisa dipercepat begitu saja. Ia bekerja dalam irama-Nya sendiri, menenun setiap perjalanan dengan kesabaran dan kebijaksanaan yang melampaui pemahaman manusia.
Dalam pendidikan Seminari, ada yang meniti jalan panggilannya dengan langkah mantap, tetapi ada pula yang harus berbelok, berhenti sejenak, atau bahkan berjalan lebih lama dari yang diperkirakan. Bukan karena mereka lebih lemah atau kurang layak, melainkan karena Tuhan sedang menghaluskan tepi-tepi yang kasar, memurnikan hati yang ragu, dan menanamkan akar yang lebih dalam sebelum mengizinkan mereka melangkah ke tahap berikutnya.
Prinsip ini pun berlaku dalam kehidupan umum. Tidak semua orang mencapai kesuksesan dalam waktu yang sama, dan tidak semua keberhasilan diukur dari seberapa cepat seseorang mencapainya. Ada yang baru menemukan panggilannya setelah melewati berbagai kegagalan. Ada yang baru memahami makna hidup setelah mengalami kejatuhan. Namun, yang terpenting bukanlah seberapa cepat seseorang sampai di garis akhir, melainkan seberapa siap dan seberapa berkualitas hasil yang dibawanya.
Dengan demikian, keterlambatan bukanlah hukuman atau tanda ketidakmampuan. Ia adalah anugerah tersembunyi: sebuah kesempatan untuk bertumbuh lebih dalam, memahami lebih luas, dan pada waktunya, melangkah dengan kesiapan yang lebih utuh dalam panggilan yang telah Tuhan tetapkan.
Merangkul Proses, Bukan Terjebak dalam Target Waktu
Pada akhirnya, pendidikan, terutama dalam formasi panggilan, bukanlah soal siapa yang lebih cepat tiba, melainkan siapa yang lebih siap ketika sampai di sana. Perjalanan di Seminari bukan perlombaan dengan garis finis yang harus segera disentuh, melainkan sebuah pendakian yang membutuhkan kesabaran, refleksi, dan keterbukaan pada rencana Ilahi.
Keterlambatan bukanlah kegagalan. Ia adalah ruang yang Tuhan berikan agar seseorang bisa bertumbuh lebih dalam, merenungkan panggilannya dengan lebih jernih, dan mematangkan hati sebelum diutus. Sama seperti benih yang membutuhkan musimnya sendiri untuk bertunas, setiap seminaris memiliki waktunya masing-masing untuk menemukan kesiapannya yang sejati.