Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis

Gemar membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menumbuhkan Nilai-Nilai Kehidupan: Peran Sastra dalam Membangun Empati dan Etika

3 Maret 2025   04:30 Diperbarui: 3 Maret 2025   12:58 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan di situlah, dalam ruang sunyi antara paragraf dan halaman yang terbuka, siswa belajar bukan hanya tentang dunia, tetapi juga tentang dirinya sendiri. Sastra menjadi cahaya yang menuntun, bukan dengan paksaan, melainkan dengan kisah yang menyentuh, membimbing mereka menemukan jalan menuju kebijaksanaan yang lebih dalam.

Peran Pendidik dalam Menumbuhkan Nilai-Nilai Melalui Sastra

Di tangan seorang pendidik, sastra bukan sekadar deretan kata yang tercetak di halaman, melainkan jendela yang terbuka menuju pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan. Setiap kisah yang dibaca di dalam kelas bukan hanya untaian peristiwa yang berlalu begitu saja, tetapi sebuah cerminan yang mengajak siswa untuk berpikir, merasa, dan merenung. Sastra dapat menjadi alat yang ampuh untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan, jika pendidik mampu menggunakannya dengan penuh kesadaran dan kasih. 

Pendekatan pembelajaran berbasis refleksi menjadi kunci dalam membawa sastra lebih dari sekadar bacaan wajib. Pendidik tidak hanya meminta siswa membaca, tetapi juga mengajak mereka menelusuri makna yang tersembunyi di balik setiap alur dan karakter. Ketika siswa diajak untuk merenungi dilema moral yang dialami tokoh-tokoh dalam cerita, mereka mulai bertanya kepada diri sendiri: Bagaimana jika aku berada dalam situasi itu? Apa yang akan aku lakukan? Melalui refleksi yang mendalam, mereka tidak hanya memahami cerita, tetapi juga menemukan cerminan nilai-nilai yang bisa mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

Namun, agar pengalaman membaca ini benar-benar bermakna, pendidik harus cermat dalam memilih karya yang relevan. Bacaan yang sesuai dengan usia dan pengalaman siswa akan lebih mudah membangun koneksi emosional. Kisah seorang anak yang berjuang melawan ketidakadilan, seperti dalam Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, bisa membuka mata siswa tentang realitas sosial. Sementara itu, novel seperti The Giver karya Lois Lowry bisa menggugah kesadaran mereka akan pentingnya kebebasan berpikir dan perasaan. Bacaan yang dipilih dengan bijak dapat menjadi jembatan yang menghubungkan dunia sastra dengan realitas yang mereka hadapi. 

Lebih dari itu, pendidik juga memiliki tanggung jawab untuk membuka ruang diskusi yang hangat dan inklusif. Dalam diskusi yang terbuka, siswa diajak untuk berbicara tentang bagaimana nilai-nilai dalam sastra dapat diterapkan dalam kehidupan mereka. Bagaimana keberanian yang ditunjukkan oleh seorang tokoh bisa menginspirasi mereka untuk menghadapi ketakutan? Bagaimana ketulusan dalam sebuah kisah bisa membantu mereka memahami arti persahabatan sejati? Dengan berbagi pemikiran dan pengalaman, mereka tidak hanya belajar dari cerita, tetapi juga dari satu sama lain. 

Di dalam kelas yang hidup dengan diskusi sastra, nilai-nilai kehidupan tidak diajarkan secara dogmatis, tetapi tumbuh secara alami di dalam hati siswa. Pendidik bukan hanya seorang pengajar, tetapi juga penuntun yang membimbing mereka menemukan makna di balik kata-kata, membantu mereka melihat bahwa sastra bukan hanya kumpulan kisah, tetapi cahaya yang menerangi jalan mereka menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan kemanusiaan.

Kesimpulan  

Di balik setiap kisah yang tertulis, tersembunyi pelajaran yang menanti untuk ditemukan. Sastra bukan sekadar hiburan, tetapi jendela yang membuka pemahaman manusia tentang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Dalam konflik yang terjalin, dalam dialog yang menggugah hati, tersimpan nilai-nilai kehidupan yang membentuk karakter, menajamkan empati, dan menuntun siswa pada pemahaman lebih dalam tentang etika. Namun, di tengah pendidikan modern yang lebih menitikberatkan angka dan fakta, sastra sering kali terpinggirkan. Harapan besar terletak pada bagaimana pendidikan dapat kembali memberi ruang bagi cerita-cerita yang tidak hanya membangun kecerdasan intelektual, tetapi juga memperkaya batin dan nurani. Sastra harus lebih diberdayakan dalam kurikulum, bukan sekadar bahan ajar yang dihafalkan, melainkan sebagai pengalaman hidup yang dirasakan dan direnungkan. Maka, kepada para pendidik dan siswa, mari lebih menghargai kekuatan cerita---membaca dengan hati yang terbuka, menemukan makna di antara baris-baris sederhana yang menyimpan kebijaksanaan mendalam. Sebab dalam setiap kisah yang kita baca, kita tidak hanya mengenal dunia lain, tetapi juga mengenali diri sendiri, bertumbuh, dan menjadi manusia yang lebih peka, lebih bijaksana, serta lebih bermakna bagi sesama. (*)

Merauke, 3 Maret 2025

Agustinus Gereda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun