Beberapa orang kaget dengan pilihan kami. Di antara mereka ada yang menyayangkan sebab kami memilih SDN yang dianggap biasa-biasa saja. Sementara menurut mereka, anak saya pasti mampu berprestasi di SDN yang favorit tersebut.
Tatkala itu saya tidak tahu pasti, apakah pilihan saya tepat atau tidak. Yang jelas saya sangat bersyukur sebab anak saya hepi bersekolah di SDN yang biasa-biasa saja itu. Justru saya ragu, bagaimana jadinya kalau saya masukkan ke SDN favorit yang tidak sesuai dengan karakternya.
Tiap berangkat sekolah anak saya selalu bersemangat. Meskipun motivasi terbesarnya bermain-main di halaman sekolah yang luas, cukuplah sudah. Dia bisa hepi dan karena hepi itulah, dia bisa menikmati proses belajar dengan baik.
Hasilnya? Pelan-pelan prestasi akademiknya menjadi bagus tanpa ada tekanan (paksaan). Ada satu peristiwa berkesan terkait hal ini. Tatkala baru semingguan menjadi anak kelas 1, anak saya menunjukkan hasil belajarnya.
Tiba-tiba dia menyodorkan buku tulis dalam kondisi terbuka. Katanya, "Bunda, ini tadi ulangan Matematika. Nilaiku 2."
Terusterang saya syok mendengar laporan si bocah. Sementara sebelumnya, dia memperoleh nilai 10 untuk ulangan dikte bahasa Indonesia. Kok sekarang bisa memperoleh nilai buruk? Sesulit apakah soalnya?
"Kata Bu Guru disuruh belajar dengan orang tuanya masing-masing. Besok akan ulangan lagi."
Setelah meneliti hasil ulangan Matematika anak, saya bertanya, "Ini soalnya ada sepuluh. Yang benar cuma dua ..."
"Aku tidak mengerti itu disuruh ngapain? Itu menjawabnya kira-kira saja."
Usut punya usut, Bu Guru sengaja memberikan ulangan tanpa terlebih dulu menjelaskan materi yang dijadikan soal. Kemudian hasil ulangan diberitahukan kepada orang tua melalui siswa. Sekaligus mengajak orang tua untuk mendampingi si bocah dalam belajar.
Minggu depannya ulangan diulang dengan soal-soal serupa. Syukurlah pada ulangan yang kedua anak saya memperoleh nilai 10. Wajarlah. Dia sudah belajar dari kesalahan terdahulu.