Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela

20 Mei 2021   19:48 Diperbarui: 20 Mei 2021   19:48 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Totto Chan Gadis Cilik di Jendela (Dokpri)

Saya mau menjadi Totto Chan! Saya iri dengan Totto Chan. Saya mau mengulang masa TK dan SD di sekolah Totto-Chan. Saya mau menjadi Totto Chan!

....

Kalau ditanya, apa buku yang pertama kali saya baca, saya tak dapat menjawab. Wow! Kok saya bisa tak ingat sama sekali begini? Sementara seingat saya, saya telah akrab dengan buku-buku sejak kecil. Berarti buku yang pertama kali saya baca kurang berkesan, nih. Buktinya tidak saya ingat sama sekali.  

Apa mungkin saat balita dan TK dulu, saya memang belum berkenalan dengan buku? Jangan-jangan pertama kali kenal buku ya dengan buku pelajaran bahasa Indonesia kelas 1 SD? Yang tokoh utamanya Budi sekeluarga itu?

Entahlah. Mungkin memang begitu. Saya 'kan lahir dan tumbuh besar di desa. Semasa orde baru pula. Ketika PLN pun belum sanggup menerangi malam-malam kami yang syahdu dan (bisa jadi) berhantu.

Yang berarti belum marak penerbitan buku-buku untuk anak usia dini, apalagi dalam desain keren seperti sekarang. Mungkin pula sesungguhnya sudah ada satu dua, tetapi radar saya belum dapat mengendus informasinya.

Entahlah ....

Namun, kalau ditanya buku apa yang paling berkesan bagi saya, dengan sigap saya akan menjawabnya, "Totto Chan Gadis Cilik di Jendela."

Akan tetapi, buku tersebut bukanlah buku kenangan masa anak-anak. Saya membacanya pertama kali ketika sudah berstatus mahasiswa sastra tahun pertama. Tatkala itu saya menuntaskannya dalam sekali duduk. Tepatnya saya duduk di kursi yang berada di pojokan dekat lemari arsip, di perpustakaan fakultas, ketika membolos gara-gara sedang bosan kuliah.  

Itulah sebabnya saya amat terkesan dengan Totto Chan. Sudahlah kisahnya amat mengesankan, masih pula membuat kemembolosan saya berfaedah. Hmm. Ternyata sekeren itu saya dahulu. Membolos sendirian saja. Tidak mengajak kawan sebab tak mau dianggap menyesatkan. Hahaha!     

Saya Iri Berat dengan Totto Chan

Seperti yang saya kemukakan di atas, saya membaca Totto Chan Gadis Cilik di Jendela ketika sudah kuliah. Membacanya pun semula iseng saja. Namanya juga masuk perpustakaan dalam rangka bolos kuliah. Yang berarti untuk leyeh-leyeh baca-baca apa saja yang tak terkait teori sastra ataupun ilmu linguistik apalah-apalah.

Maka yang saya dekati rak-rak fiksi. Ambil satu buku, terasa enggak seru, letakkan. Ambil lagi, baca sedikit, tak seru juga, letakkan lagi. Demikian seterusnya hingga ketemu buku kesayangan sepanjang masa ini.

Sesungguhnya waktu pertama kali memegang dan mengamati sampul depannya saya bertanya-tanya, "Ini buku apa, sih? Penulisnya siapa? Gambar sampul depannya ilustrasi abstrak, tapi seperti buku anak-anak? Kok ada di perpustakaan sastra, ya?"

Saya tak tahu kalau buku yang sedang saya amati dengan kepo itu buku tenar (saya baru tahu ketenarannya justru beberapa tahun kemudian). Untung saja ketika mencoba membaca beberapa halamannya saya tertarik. Hingga akhirnya memutuskan untuk membacanya secara tuntas.

Terbukti bahwa pilihan saya tak salah. Akhirnya sampai sekarang saya jatuh cinta berat pada buku karya Tetsuko Kuroyanagi itu.

Nah, lho. Betapa saat itu saya kurang up date. Sementara pengelola perpustakaan kurang cermat. Buku tersebut bukan fiksi. Mengapa diletakkan di rak fiksi?

Eeeh? Tunggu, tunggu. Andai kata pengelola perpustakaan cermat, kemungkinan malah saya tak menemukannya. Bukankah pada hari itu saya justru menjelajahi rak-rak fiksi? Oalaah. Memang ya, kalau sudah jodoh tak akan ke mana.

Alhasil pada hari itu, sejak pagi hingga siang, saya tenggelam dalam dunia Totto Chan. Tak tanggung-tanggung, saya bahkan mengimajinasikan diri sebagai bocah lincah itu. Saya iri kepadanya! Wah, wah, wah. Ketahuan deh kalau masa kecil saya agak ngenes. Ckckck!

Sinopsis dan Kebaperan Saya 

Totto Chan Gadis Cilik di Jendela adalah autobiografi Tetsuko Kuroyanagi. Mengisahkan masa kecil sang penulis yang dilabeli sebagai anak nakal sebab kerap kali mengganggu proses belajar mengajar di kelasnya. Sementara sesungguhnya, Totto Chan tidak bermaksud nakal. Ia hanya terlalu aktif dan terlampau besar rasa ingin tahunya terhadap segala hal.

Hingga suatu hari ia dikeluarkan dari sekolah. Beruntunglah Tetsuko Kuroyanagi (Totto Chan) memiliki orang tua yang bijak. Mereka tak mengatakan kalau ia dikeluarkan dari sekolah agar tak timbul perasaan negatif di hatinya.

Mereka mengatakan hal-hal baik ketika memindahkan Totto Chan ke sekolah yang lain. Yang lokasinya lebih jauh dari rumah, namun bersedia menerima Totto Chan dengan segala perangainya yang dianggap nakal di sekolah lama.

Ya. Itulah sekolah Tomoe yang istimewa. Yang gedung sekolahnya berupa gerbong kereta api bekas. Yang dikelola oleh Pak Kobayashi, sang kepala sekolah yang juga istimewa cara mengajar dan mendidiknya. Kalau dalam istilah yang sedang ngetren sekarang, Pak Kobayashi sudah menerapkan metode merdeka belajar.

Anak-anak diajak belajar dengan hati yang ceria. Bukan dengan hati yang terbebani PR setumpuk. Bukan dengan rasa takut kepada guru.

Di sekolah Tomoe tidak ada anak nakal ataupun bandel. Yang ada hanyalah anak kepo dan kelebihan energi. Jadi, hanya butuh diberi jawaban atas kekepoannya dan difasilitasi kelebihan energinya. Bukan malah dikebiri kreativitas dan daya kritisnya.

Singkat cerita, kurikulum sekolah Tomoe memang menarik. Belajar sambil bermain. Bermain, tetapi sekalian belajar.

Dalam menentukan menu bekal makan siang pun, Pak Kobayasi punya cara unik. Beliau meminta para orang tua membekali anak mereka dengan menu yang terdiri atas sesuatu yang berasal dari gunung dan laut. "Terjemahannya" bebas. Namun gampangannya, bekal makan siang anak-anak diharapkan ada sayuran dan buahnya plus berlauk ikan/sesuatu yang dari laut.  

Yup! Hari itu saya  larut dalam diri Totto Chan. Berul-betul menyesali masa kecil saya yang tidak seberuntung Totto Chan. Iya, lho. Ia sungguh beruntung dapat bersekolah di sekolah Tomoe yang mengedepankan prinsip merdeka belajar dan bahagia belajar itu.

Puncaknya, saya ikut menangis pilu (tentu tanpa air mata sebab sedang di tempat umum) ketika sekolah Tomoe dihancurleburkan bom atom saat Perang Dunia II pecah. Saya sangat berempati dan amat memikirkan perasaan Pak Kobayashi yang pastilah sama hancur leburnya dengan bangunan sekolah yang dirintisnya.

Iya, saya sedih memikirkan kesedihan Pak Kobayashi. Membayangkan beliau menatap hampa reruntuhan sekolah Tomoe yang telah susah payah dirintisnya. Membayangkan kerinduan dan kekhawatiran beliau kepada para murid tercintanya.

Iya, saya sebaper itu gara-gara membaca Totto Chan Gadis Cilik di Jendela. Bahkan, sampai sekarang. Saat menyelesaikan tulisan ini juga.

 ***

Kesan mendalam terhadap Totto Chan Gadis Cilik di Jendela pada akhirnya menyebabkan saya meniru cara Pak Kobayashi dalam mendidik anak. Pastilah tidak sama persis karena anak saya kemudian bersekolah di sekolah formal. Namun, spirit merdeka belajar dan bahagia belajar itulah yang berusaha saya tumbuhkan pada anak saya. Dimulainya jauh sebelum ia masuk TK.

Bagaimana hasilnya? Hmm. Sejauh yang saya tahu sih, ia hepi-hepi saja. Tak pernah tertekan gara-gara saya paksa belajar. Lhah wong saya memang tak pernah memaksanya untuk belajar.

O, ya. Yang saya baca pertama kali saya yakini buku edisi awal. Sampul depannya berbeda dengan yang saya tampilkan di tulisan ini. Adapun yang saya tampilkan dalam tulisan ini adalah edisi lebih baru. Jika Kompasianer ingin membelinya, silakan saja cari di toko buku online.  Insyaallah masih relatif mudah dicari, kok.

Salam.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun