Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Administrasi - Kerja di dunia penerbitan dan dunia lain yang terkait dengan aktivitas tulis-menulis

Founder #purapurajogging

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kesehatan Perempuan Indonesia, antara Asa dan Realita

21 April 2021   22:04 Diperbarui: 21 April 2021   22:14 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hari ini tanggal 21 April. Hari Kartini. Hari ulang tahun Raden Ajeng Kartini, yakni sosok yang ditahbiskan menjadi pahlawan emansipasi dan inspirasi bagi kaum perempuan Indonesia. Kiranya tak perlu saya jelaskan lagi tentang beliau di sini. Saya yakin, secara umum rata-rata kita (orang Indonesia yang pernah bersekolah) tahu tentangnya. Perkara tahu secara detil atau tidak; memahami perjuangan Kartini dengan benar atau tidak; itu hal lain.

Sesuai dengan judul di atas, senyampang Hari Kartini dan "nasib" kaum perempuan Indonesia kembali hangat dibahas sebagaimana tiap tahunnya, saya hendak sedikit bercerita mengenai kondisi kesehatan mental dan reproduksi seorang perempuan belia yang saya kenal. Yang pastinya juga merupakan salah satu perempuan Indonesia yang nasibnya diperjuangkan Kartini.

Hanya saja, kenalan saya ini bukan dari golongan yang dianggap keren. Justru sebaliknya, ia kerap terabaikan dan dipandang sebelah mata. Yang acap kali eksistensinya diakui, hanya ketika dipergunjingkan. Ngeri! Tambah ngeri sebab yang mempergunjingkan ya sesama perempuan. 

Begini....

Sekitar lima tahun lalu saya tinggal di sebuah kampung yang lokasinya tepat di perbatasan wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Tak jauh dari Malioboro yang mendunia itu. Secara teoretis tidak mungkin ada warganya yang kapiran dalam hal akses kesehatan. Fasilitas kesehatan relatif mudah dijangkau. Idealnya masyarakat di situ punya kesadaran tinggi dalam hal memelihara kesehatan, baik kesehatan fisik maupun mental. 

Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Dalam kegiatan dasawisma saya berkenalan dengan Atika (bukan nama sebenarnya), seorang ibu muda belia yang usianya belum genap 17 tahun. Masih ABG. Sementara anaknya sudah berusia 2 tahun. Wow! Tentu fakta tersebut mengejutkan. Semula saya pikir dia hanya berwajah dan bersikap kekanak-kanakan. Ternyata oh, rupanya, dia memang masing anak-anak.

Setelah bergerilya mencari informasi secara santun, saya akhirnya mendapatkan cerita utuh tentang Atika. Rupanya Atika tidak lulus SMP sebab ketika naik kelas 9 ketahuan hamil. Bayangkan. SMP, lho. Kurang lebih berusia 14-15 tahun.

Pacar yang kemudian jadi suaminya (sebut saja Roni) baru berusia 18 tahun saat itu; sudah putus sekolah sebelum kenal Atika. Tak punya pekerjaan tetap. Berasal dari keluarga yang amburadul walaupun orang tuanya tidak bercerai.

Atika yang yatim sejak SD itu memang minim pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Kasihan sekali anak ini. Praktis kurang perhatian dan kasih sayang sepeninggal sang ibu. Ayah dan ketiga abangnya tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Wajar kalau si bungsu Atika kemudian hanyut dalam perhatian Roni yang entah dikenalnya di mana. Hingga akhirnya pergaulan mereka kebablasan.

Apesnya setelah mereka menikah, ayah dan ketiga abang Atika yang kecewa kian menjauhinya. Atika memang masih bebas pulang ke rumah orang tuanya, tetapi tampaknya ya sekadar pulang secara fisik. Batinnya tetap berjarak. Saya berani menyimpulkan begitu sebab pernah berkunjung ke situ dan merasakan sendiri atmosfer keberjarakan batin tersebut.

Saya kaget, namun kemudian paham. Wajar ayah dan ketiga abangnya kecewa. Atika dianggap menorehkan aib di muka mereka. Sementara mereka bukanlah keluarga sembarangan. Sang ayah adalah pensiunan kepala sekolah dan ketiga abangnya ternyata lulusan sebuah PTN ternama di Yogyakarta. Foto-foto wisuda terpampang nyata di dinding ruang tamu.

Saya pikir-pikir, secara tak langsung kondisi tersebut menjadi teror tersendiri buat Atika. Walaupun tak ada yang bermaksud begitu, tetap saja berpotensi menjadi teror baginya. Atika memang diam. Namun, tak berarti batinnya baik-baik saja.

Sepertinya tak ada tempat nyaman buat Atika. Pulang berarti siap terintimidasi foto-foto wisuda, sedangkan tetap tinggal di rumah mertua (sang mertua inilah yang sekampung dengan saya) berarti siap terintimidasi ibu mertua.

O, ya, Saya bisa tahu sejauh ini sebab diajak ibu ketua dasawisma untuk mencari Atika. Ia lama sekali membolos dari kegiatan dasawisma dan lalai tak membayar cicilan simpan pinjam yang telah jatuh tempo. Usut punya usut, ia berkonflik dengan ibu mertuanya dan pulang ke rumah orang tuanya di kecamatan sebelah.   

Sedihnya, Roni pun masih kekanak-kanakan. Cari duitnya semau dia saja meskipun telah punya tanggungan anak istri. Huft! Ibu Kartini pasti merasa gemas sekaligus trenyuh. Iya, saya yakin bakalan begitu. Sebab perjalanan hidup Atika menyimpang sangat jauh dari semangat dan cita-cita beliau.

Kita mafhum bahwa Kartini berkeinginan kaumnya memiliki kesempatan untuk maju bersama-sama dengan kaum laki-laki. Kartini ingin kaumnya memiliki akses pendidikan dan kesehatan yang memadai. Idealnya dari tahun ke tahun kedua akses tersebut kian mudah. Faktanya, masih ada kasus yang tercecer seperti kisah Atika.

Kisah Atika patut menjadi bahan renungan yang mendalam. Saya yakin bahwa masih banyak anak perempuan Indonesia yang sependeritaan dengannya. Tentu hal demikian menjadi PR besar bagi kita sekalian. Terlebih anak perempuan kelak akan jadi ibu. 'Kan masa depan bangsa ini bisa gawat kalau kualitas para calon ibu sangat rendah.

Adapun dalam bayangan saya, materi kesehatan mental dan reproduksi wajib ditanamkan sejak dini. Perlu disosialisasikan secara massif dan kontinu. Efektifnya melalui bangku sekolah. Semaksimal mungkin kita berusaha agar meningkatnya kesehatan perempuan Indonesia benar-benar terwujud nyata. Sinkron antara asa dan realitanya.  

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun