Mohon tunggu...
Agustijanto Indrajaya
Agustijanto Indrajaya Mohon Tunggu... Penulis - Arkeolog

tinggi 160 cm

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Strategi Pertahanan dan Keamanan Kerajaan Sunda

24 Mei 2017   15:08 Diperbarui: 24 Mei 2017   16:26 2351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sehingga kerajaan tidak dapat disusupi oleh musuh besar dan musuh kecil. “...purbatisti purbajati, mana mo kadatangan ku musu(h) ganal, musu(h) alit...” artinya “ (setia kepada) kebiasaan dan keaslian leluhur. Oleh karena itu tidak kedatangan oleh musuh besar dan musuh kecil...”(Atja dan Saleh D,1981a:18).

Menarik untuk diamati adalah siapakah yang dimaksud dengan musuh besar dan musuh kecil bagi Kerajaan Sunda. Kemungkinannya adalah yang dimaksud sebagai musuh besar bagi Kerajaan Sunda adalah kerajaan-kerajaan tetangga yang dianggap cukup potensial untuk menyerang Kerajaan Sunda. Naskah Amanat Galunggung(AG)memuat nama-nama kerajaan yang potensial tersebut untuk mengingatkan agar kerajaan dan rakyat di Kerajaan Sunda berhati-hati. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Jawa3 , Baluk, Cina, Lampung dan lainnya. naskah tersebut menyebutkan sebagai “...jaga bonangna kabuyutan ku jawa, ku baluk, ku cina, ku lampung, ku sakalih...” artinya “...cegahlah terkuasainya kabuyutan oleh Jawa, oleh Baluk, oleh Cina, oleh Lampung, oleh yang lainnya (Atja dan Saleh D,1981c:29).

Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, dimana kerajaan-kerajaan yang membawa label Islam mulai tumbuh, dirasakan sebagai kerajaan yang sangat potensial mengancam eksistensi Kerajaan Sunda. Kekhawatiran ini masa masa berikutnya memang terbukti karena pada tahun 1527 M kerajaan Islam telah berhasil menguasai Pelabuhan Kalapa yang merupakan salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda. Selanjutnya pada tahun 1579 M Kerajaan Sunda baru dapat dijatuhkan oleh tentara Islam setelah adanya kerjasama dua kerajaan Islam pada saat itu yakni Cirebon dan Demak. Naskah CP menyinggung tentang jatuhnya Kerajaan Sunda sebagai berikut:”...metu sangkara ti selam. prang ka raja galuh, eleh na raja galuh...pahi eleh ku selam. kitu kawisesa ku demak, dong ti cerebon...”artinya “...datang bencana dari Islam. Perang ke Raja Galuh kalah di Raja Galuh ...semua kalah oleh Islam. Demikianlah dikuasai oleh Demak dan Cirebon (Atja dan Saleh D,1981a:19).

Islam dipandang tidak saja sebagai musuh yang mempunyai kekuatan riil( Kerajaan Demak dan Cirebon) tetapi ajaran agama Islam yang telah masuk ke dalam Kerajaan Sunda dipandang dapat menggoyahkan idiologi kerajaan. Tome Pires dalam catatan perjalanannya melaporkan bahwa”...di bandar ini (Cimanuk) sudah banyak bermukim orang yang beragama Islam, walaupun syahbandarnya sendiri masih memeluk agama leluhur (heathen)...”(Armando.C, 1944:173).

Sedangkan yang dimaksud dengan musuh kecil bagi Kerajaan Sunda adalah adanya kelompok-kelompok pengacau keamanan dalam Kerajaan Sunda sendiri. Naskah SSKK menyebutkan beberapa pengganggu keamanan masyarakat yakni :”...nyangcarutkan sakalih ma ngara(n)na. mipit mo amit, ngala mo menta, ngajupuk mo sadu, maka nguni tutunumpu, maling, ngetal, ngabegal, sing sawatek cekap carut, ya nyang carutkon sakalih ngara(n)na...sanguni tu meor, godak, nyepet, ngarebut, ngarorogoh, papanjingan...”artinya “... yang disebut menipu orang lain adalah memetik tanpa permisi,

mengambil tanpa meminta, memungut tanpa memberitahu, mencuri, merampok, membegal, semua yang tergolong perbuatan jahat itulah yang disebut menipu orang lain namanya...juga mengecoh, merogoh kantong orang, mencopet, merampas, mencuri dari saku, memasuki rumah orang...”(atja dan Saleh D,1981b:5)


Usaha-usaha yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaja untuk “memariti” dalam arti yang lebih luas yakni melindungi kerajaan dari musuh besar (ganal) berupa ancaman dari luar kerajaan dan musuh kecil (alit) berupa gangguan keamanan masyarakat adalah melalui dua pendekatan keamanan yakni pendekatan secara magis religius (psikologis) dan pendekatan secara teknis.

Pendekatan secara magis religius adalah dengan cara memberikan ancaman berupa kutukan para dewa dan hyang apabila ada yang berani melanggar segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh raja sebagai wakil dewa/hyang dimuka bumi. Prasasti Sanghyang Tapak misalnya, menyebutkan tentang adanya kutukan para dewa dan hyang bagi siapa saja yang melanggar ketentuan raja. Adapun bunyi dari kutukan tersebut adalah “...matiya siwak kapalanya, ucup uteknya, belah dadanya, inum rahnya, rantan ususnya...”artinya”...matinya (akan) terbelah kepalanya, terhisap otaknya, terbelah dadanya, terminum darahnya dan terburai ususnya...”.(Hasan D,1992:20).

Dengan demikian, walaupun seseorang yang melanggar ketetapan tidak mendapat sangsi secara fisik (hukuman ), akan tetapi secara psikologis dia tidak akan merasa aman karena telah membuat para dewa dan hyang murka. Naskah SSKK menyebutkan sebagai “...tan kreta ja laki(bi) dina urang reya ja loba di sanghyang siksa...” artinya ”...yang tidak merasa tentram adalah rumah tangga yang telah melanggar sanghyang siksa...”. Maksud dari orang yang melanggar sanghyang siksa dapat berarti memang orang tersebut telah melanggar segala ketentuan/ peraturan yang telah dibuat di dalam Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK), karena naskah ini adalah pegangan hidup bagi masyarakat Sunda kuna. Di dalam naskah disebutkan”...ngagelarkon sanghyang siksa kandang karesian ini sanghyang dasakreta kundangon urang reya...” artinya”...menguraikan sanghyang siksa kandang karesian ini sanghyang dasakreta untuk pegangan orang banyak...”. Namun demikian yang dimaksud dengan orang-orang yang melanggar Sanghyang Siksa dapat mengacu pada orang-orang yang telah meninggalkan agama leluhur dan memeluk agama Islam seperti yang telah diberitakan oleh Tome Pires.

Menyadari hal diatas kemungkinan salah satu upaya yang dilakukan oleh Sri Baduga Maharaja untuk mencegah meluasnya ajaran Islam berkembang di masyarakat dengan membukukan ajaran leluhur, yakni Sanghyang Siksa pada tahun 1518 M, sehingga kitab ini dapat dipelajari secara luas oleh masyarakat Sunda kuna.

Pendekatan kedua yakni pendekatan secara teknis adalah dengan membentuk tentara kerajaan yang kuat. Naskah SSKK memuat beberapa jenis kesatuan tentara kerajaan seperti bayangkara (penjaga keamanan), pajurit (prajurit), pam(a)rang (prajurit yang ahli dalam memainkan pedang), dan pamanah (prajurit yang ahli dalam memanah).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun