Mohon tunggu...
Agus Susmoro
Agus Susmoro Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sang Merah Putih dan Kalimat Tauhid

30 Januari 2017   17:58 Diperbarui: 30 Januari 2017   18:17 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada hal yang menarik dari aksi FPI di depan Mabes Polri yaitu salah satu peserta unjuk rasa membawa bendera merah putih yang bertuliskan huruf Arab, lebih tepatnya kalimat tauhid. Polri kemudian menangkap seseorang berinisial NF yang diduga adalah pelaku dan menerapkan Undang-Undang  Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.

Terlepas dari proses hukum yang sedang dilaksanakan oleh Polri, ada pandangan yang menurut saya menarik mengenai kalimat tauhid yang ditulis di bendera merah putih, terutama oleh sebagian kalangan yang memberikan pandangan bahwa kalimat tauhid yang ditulis di bendera merah putih adalah kalimat tauhid, suatu ikrar akan keesaan Allah Swt, sehingga tidak tepat jika tindakan itu disebut sebagai suatu penodaan terhadap bendera negara. Mereka beralasan laskar-laskar rakyat yang menjadi cikal bakal TKR dan BKR seperti Hizbullah, benderanya bertuliskan kalimat tauhid. Bahkan lebih aneh lagi ada juga dari mereka yang malah menuduh balik Polri telah melakukan penodaan terhadap kalimat tauhid.

Menghadap-hadapkan saling berlawanan antara kalimat tauhid dengan bendera negara sang merah putih dan bersikap permisif atas aksi penulisan kalimat tauhid di bendera negara dengan dalih jaman dahulu bendera laskar hizbullah juga bertuliskan kalimat tauhid merupakan contoh kesesatan dalam berpikir dan bukti dangkalnya pemikiran dalam memandang dan memaknai bendera negara sang merah putih.

Secara formal sang merah putih diakui sebagai bendera negara berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian ketentuan lebih lanjut mengenai hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara. Pasal 35 UUD 1945 ini adalah salah satu dari sekian pasal dalam UUD 1945 yang tidak dilakukan perubahan. Artinya dari sejak ditetapkan menjadi UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai sekarang, bunyi  dan redaksi pasal tersebut masih sama. Oleh karena eksistensi bendera merah putih secara konstitusional diatur dalam UUD 1945, rasanya sangat mustahil jika pembahasan mengenai hal itu dipisahkan dari sejarah pembentukan dan penetapan UUD 1945 itu sendiri.

UUD 1945 merupakan suatu konsensus kebangsaan para Bapak Bangsa kita. Di dalamnya berisi nilai-nilai dasar dan aturan-aturan dalam bernegara. Ia juga berisi suatu keinginan atau harapan bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara ke depannya, sehingga akhirnya kita menemukan model bernegara dan berbangsa sebagaimana seperti sekarang ini. Beliau-beliau, para Bapak Bangsa dengan mengesampingkan sifat-sifat egosentris yang berbasis agama dan kesukuan, merumuskan bentuk negara yang dapat menaungi semua manusia Indonesia dan menjadi rumah bersama tanpa memandang suku, ras, agama dan golongan. Tetapi bukan berarti negara menjadi sekuler dengan memisahkannya dari agama sama sekali. Negara kita tetap berlandaskan pada ketuhanan yang maha esa, dengan mengakui eksistensi dan melindungi hak-hak setiap agama yang ada di dalamnya. Esensi pemikiran inilah yang kemudian melandasi pembukaan UUD 1945 yang selanjutnya mengilhami pembentukan pasal per pasal dalam batang tubuhnya, termasuk Pasal 35 UUD 1945 yang mengatur tentang Bendera Negara.

Dengan memahami sejarah pembentukan UUD 1945 sebagaimana tersebut diatas, maka tidak mengherankan apabila  kita tidak  menemukan simbol-simbol agama dalam bendera dan lambang negara kita, karena negara ini berdasarkan konsensus kebangsaannya memang tidak didirikan atas dasar agama tetapi atas dasar ketuhanan yang maha esa. Jadi sekarang bisa dipahami dengan latar belakang sejarah kebangsaan sebagaimana dijelaskan diatas, bagaimana kira-kira jika ada suatu agama tertentu yang memaksakan kehendaknya untuk menuliskan suatu ciri khas agamanya di bendera atau lambang negara, yang merupakan simbol persatuan dan menjadi ‘payung’ bersama dengan agama-agama lainnya ? Tentu perbuatan itu akan merusak konsensus kebangsaan atau jika meminjam istilahnya Anies Baswedan, tenun kebangsaan, yang dengan susah payah telah disepakati dan dirajut oleh para Bapak Bangsa kita.

Pada akhirnya persoalan bendera negara sang merah putih bukanlah persoalan kain yang berwarna merah dan putih dijahit menjadi satu, tetapi ini adalah persoalan pemaknaannya sebagai perlambang persatuan dan kesatuan yang  mampu menaungi seluruh suku, agama, ras dan golongan yang hidup di dalamnya.

Salam Persatuan !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun