Saat menerima SK mutasi ke salah sebuah SMA di Magelang, hati ini sempat berdebar. Bukannya apa-apa, meski sekolah itu berada di tanah kelahiran ada rasa minder dalam diri saya. Sebab sebelumnya saya mengabdi di sekolah yang relatif terpencil dan tertinggal, Baucau Timor Timur.
Rasa minder itu muncul dalam segala hal. Mulai dari kompetensi sebagai guru yang jelas jauh, dibandingkan teman-teman di Jawa. Sarana dan prasarana yang jauh berbeda termasuk juga kondisi siswa yang harus dihadapi. Semua itu menumpuk dalam benak, di tengah kegembiraan bisa kembali bekerja di tanah kelahiran.
Dari semua kekhawatiran itu, ada satu hal yang sangat mengganggu pikiran. Relasi antara saya dengan teman-teman guru yang relatif baru di mata saya. Kalau di sekolah lama, saya tentu saja tidak masalah. Semua teman berangkat dari titik sama. Sehingga kami senior secara bersama-sama, dan telah saling mengerti satu sama lain secara mendalam.
Dengan masuk di lingkungan kerja baru, otomatis status senior saya akan berubah. Bahkan saya akan dianggap junior di mata teman-teman guru muda yang telah ada di lingkungan itu.Â
Berkaca dari situasi ini, maka pelan-pelan saya pun harus mulai menyusun strategi. Sebuah strategi agar mampu berdiri sejajar dengan teman-teman yang lain.
Langkah awal tentu saja lebih banyak pada mengamati sekitar. Istilah kerennya orientasi lapangan. Hal ini saya anggap penting untuk memetakan langkah. Takutnya salah langkah, malah runyam semuanya.
Menerima apapun tugas yang diberikan
Langkah ini saya anggap sebagai bentuk tahu diri dengan posisi saya. Ibarat kata orang masuk lingkungan baru, dia harus mampu menempatkan diri. Sikap menolak justru akan menjadi hal yang kontraproduktif. Dan jangan lupa, bahwa kesan pertama sangat berarti.