Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Permintaan

10 April 2021   10:43 Diperbarui: 10 April 2021   10:44 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surat itu masih tergeletak di atas meja. Rika sudah beberapa kali membacanya. Namun entah mengapa dia selalu membuka lagi untuk mencermati larik demi larik kalimat di surat itu. Rasanya ada yang janggal dengan kalimat dalam surat itu.

"Rik, sudah kamu ambil sikap dengan surat itu?" tanya Pak Warsa yang sedang duduk di sudut ruang tamu.

"Belum, Pak."

"La, kenapa? Kurang jelas pesan yang disampaikan?" tanya Pak Warsa lagi.

"Tidak, Pak," jawab Rika pendek. "Saya tak habis pikir, mengapa Mas Adit harus membuat surat ini."

"Mungkin dia punya pertimbangan lain."

"Iya juga Pak. Tapi mungkin akan lebih baik jika mas Adit telpon langsung ke Rika. Jadi semua bisa dibicarakan baik-baik," jawab Rika nampak tidak semangat. Pikiran Rika kembali melayang ke isi surat itu. Permintaan Adit sangat  sederhana. Dia minta ijin untuk poligami. Permintaan yang benar-benar di luar logika. Selama ini rumah tangga mereka baik-baik saja. Dengan dikaruniai seorang anak, ditambah istri yang penuh pengertian, bukanlah sebuah alasan yang dapat diterima untuk tindakan ini. Apalagi hubungan Adit dengan Rika maupun anaknya tidak ada masalah sama sekali.

"Kalau Bapak setuju enggak dengan rencana mas Andi?" Rika balik bertanya.

"Kalau melihat alasan yang Adit sampaikan, Bapak menyetujuinya," jawab Pak Warsa tanpa beban.

"Jadi Bapak senang melihat Mas Adit menduakan Rika?" serang Rika.

"Bukan Rik. Tapi ini semua atas nama kemanusiaan."

"Kemanusiaan. Kemanusiaan apa. Mata bisa Pak melihat, tapi hati ini tidak bisa Pak." Rika mulai menangis.

Dalam suratnya kemarin, Adit menyampaikan keinginannya untuk menikah lagi. Perempuan yang dipilih Adit adalah Asti, perempuan yang pernah menjadi masa lalu Adit. Dan secara kebetulan mereka tinggal dalam satu kota. Semua terjadi tanpa disengaja. Penempatan tugas Adit di Semarang ternyata justru membawanya pada perempuan masa lalu itu. Pada awalnya, Rika sempat keberatan. Tapi setelah Adit mampu meyakinkan Rika, keberatan itu pun lenyap. Rika yakin karena dia telah melihat sikap perilaku selama menikah tidak pernah menunjukkan gejalan-gejala yang aneh.

"Rik, ijinkan aku menikahi Asti. Hal ini kulakukan, bukan karena aku mengkhianatimu. Tapi semua karena kemanusiaan. Saat ini Asti terbaring di rumah sakit, dengan harapan hidup yang sangat kecil. Meskioun dia masih sadar, tapi dokter telah memvonisnya tidak lama lagi umurnya. Satu hal yang menjadi keinginan terakhirnya adalah menikah denganku. Hanya itu." Kalimat itu adalah sepenggal kalimat yang membuat Rika sulit bersikap. Mengijinkan, berarti harus siap berbagi. Melarang, berarti dia orang tidak berperikemanusiaan.

Kringg! Telepon yang ada di meja kecil ruang tamu berbunyi. Dengan setengah malas Rika beranjak. Diraihnya gagang telepon lalu diletakkan di telinganya.

"Hallo, assalamu 'alaikum." Terdengar suara Adit dari seberang.

"Wa 'alaikumussalam," jawab Rika tidak bersemangat.

"Rika, ini?" Adit menyakinkan.

"Iya, Mas."

"Rik, mas hanya mau menyampaikan sesuatu," kata Adit.

"Ya," jawab Rika pendek.

"Tadi pagi Asti meninggal dunia. Penyakit kanker yang diderita selama ini merenggut nyawanya."

Mendengar berita itu Rika terdiam. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Lembah Tidar, 10 April 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun