Dalam rangka menyambut Hari Bumi 2025, Kementerian Agama Republik Indonesia mencanangkan gerakan nasional penanaman sejuta pohon matoa di seluruh wilayah Indonesia.
Inisiatif ini bukan hanya sebuah upaya penghijauan, tetapi juga bagian dari gerakan moral dan spiritual untuk meneguhkan peran manusia sebagai khalifah di bumi yang bertanggung jawab merawat ciptaan Tuhan.
Pohon matoa, tanaman endemik khas Papua yang kini dikembangkan di berbagai daerah, dipilih sebagai simbol keberagaman hayati Indonesia sekaligus komitmen terhadap konservasi dan pelestarian lingkungan hidup.
Gerakan ini selaras dengan semangat global Hari Bumi, yakni memulihkan bumi dari kerusakan ekologis akibat eksploitasi berlebihan. Namun lebih dari itu, ia juga menjadi kesempatan untuk belajar dari masa lalu dan memperbaiki cara kita memperlakukan alam.
Dalam konteks inilah, kita patut menengok kembali pelajaran penting dari buku Silent Spring karya Rachel Carson---sebuah karya monumental yang menjadi dasar munculnya kesadaran lingkungan modern dan bahkan mengilhami lahirnya Hari Bumi Dunia pertama pada tahun 1970.
Belajar dari Silent Spring
Buku Silent Spring karya Rachel Carson yang diterbitkan pada tahun 1962 telah mampu mengguncang dunia. Carson mengungkap dampak mengerikan dari penggunaan pestisida sintetis seperti DDT yang merusak ekosistem secara sistemik. Burung-burung mati, tanah menjadi tercemar, air kehilangan kesegarannya, dan manusia menjadi bagian dari lingkaran racun yang diciptakannya sendiri. Ia menunjukkan bahwa ketika kita meracuni alam, sebenarnya kita sedang meracuni diri kita sendiri.
Buku ini mengajarkan bahwa merawat bumi bukan hanya soal tindakan langsung, tetapi juga soal cara berpikir: kita harus mengakui bahwa manusia adalah bagian dari sistem ekologis yang kompleks. Perusakan satu komponen dapat menyebabkan kerusakan pada keseluruhan sistem. Dengan kata lain, Silent Spring mengajak kita untuk berpikir ekologis---memahami bahwa segala sesuatu di alam saling berhubungan.
Menanam Pohon: Langkah Sederhana, Dampak Luas
Gerakan menanam sejuta pohon matoa yang diluncurkan oleh Kementerian Agama sangat tepat jika dilihat dalam terang pemikiran Rachel Carson. Bebera alasan mengapa menanam pohon memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem, yaitu:
Menyerap Karbon dan Menurunkan Emisi
Pohon menyerap karbon dioksida dari atmosfer dan membantu menahan laju pemanasan global. Dalam konteks Indonesia yang rentan terhadap krisis iklim, penanaman pohon adalah bentuk mitigasi berbasis alam (nature-based solution) yang efektif.Menjaga Air dan Tanah
Akar pohon membantu mencegah erosi, menyimpan air tanah, dan menyaring polutan. Pohon juga meningkatkan kelembaban udara dan menjaga kestabilan iklim mikro di sekitarnya.Memulihkan Habitat dan Keanekaragaman Hayati
Seperti yang diperingatkan dalam Silent Spring, hilangnya keanekaragaman hayati adalah salah satu dampak paling nyata dari kerusakan lingkungan. Pohon-pohon yang ditanam menjadi rumah baru bagi burung, serangga, dan organisme tanah.Simbol Rekonsiliasi Manusia dan Alam
Matoa, sebagai tanaman asli Nusantara, menjadi simbol kearifan lokal yang berpadu dengan semangat global. Dengan menanamnya, kita tidak hanya merestorasi ekosistem, tetapi juga merawat identitas ekologis bangsa.
Merawat Bumi adalah Tanggung Jawab Ilmiah dan Spiritual
Rachel Carson mengingatkan kita bahwa kerusakan alam bukanlah takdir, melainkan akibat dari keputusan yang diambil tanpa pertimbangan ekologis dan etis. Gerakan menanam pohon bukan sekadar aksi fisik, melainkan juga perwujudan kesadaran ilmiah dan spiritual---bahwa merawat bumi adalah tanggung jawab kita bersama, baik sebagai warga dunia maupun sebagai makhluk beriman.
Gerakan sejuta pohon matoa harus kita maknai sebagai langkah kolektif untuk kembali membangun hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Seperti yang ditulis Carson, "Kita tidak dapat memerintah alam kecuali kita tunduk pada hukumnya." Maka, Hari Bumi 2025 bukan hanya saat menanam benih di tanah, tetapi juga saat menanam kesadaran dalam hati.
"Merawat bumi bukanlah pilihan, tapi tanggung jawab. Seperti Carson, kita harus berani bersuara demi alam yang tak bisa lagi bersuara."
Selamat Hari Bumi 22 April 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya