Mohon tunggu...
Agus Netral
Agus Netral Mohon Tunggu... Administrasi - Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Peneliti pada YP2SD - NTB. Menulis isu kependudukan, kemiskinan, pengangguran, pariwisata dan budaya. Menyelesaikan studi di Fak. Ekonomi, Study Pembangunan Uni. Mataram HP; 081 918 401 900 https://www.kompasiana.com/agusnetral6407

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bonus Demografi dan Beban Pengangguran

31 Oktober 2019   15:00 Diperbarui: 1 November 2019   07:31 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agus Netral, SE.

Peneliti Pada YP2SD NTB

Pengangguran merupakan masalah yang akan terus menjadi sorotan dan perbincangan di tengah masyarakat untuk waktu kedepan ini yaitu karena semakin banyaknya jumlah mereka yang menganggur utamanya dari kalangan tenaga kerja terdidik. Mengacu pada Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) bulan Februari 2019 yang dipublikasikan bulan Mei 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebanyak 6,82 juta orang. Jumlah pengangguran sebanyak itu merupakan 5,01% dari jumlah angkatan kerja sebesar 136,18 juta orang. Jawa Barat adalah provinsi dengan angka pengangguran tertinggi, yakni 7,7%, sedangkan Bali provinsi dengan angka pengangguran terendah yaitu 1,2%.

Dari segi pendidikannya jumlah pengangguran terbuka sebanyak 6,82 juta itu terdiri dari; tidak pernah sekolah; 35.655, tidak tamat SD; 435.655, tamat SD; 954.010, tamat SMP 1.219.767,  tamat SMA; 1.680.794, tamat SMK; 1.381.964, tamat Diploma; 269.976, dan tamat Sarjana; 839.019. Jadi disini jelas, bahwa pengangguran terbuka didominasi oleh lulusan sekolahan dan sarjana.

Bukan saja pengangguran terbuka yang didapatkan dari data Sakernas itu, tapi BPS juga menampilkan data setengah penganggur yaitu pekerja yang terus mencari pekerjaan lain karena tidak terima dengan kondisi kerjanya, diantaranya karena penghasilan yang kecil. Tetapi selama ini data setengah penganggur ini kurang diekspose ataupun kurang dikenal dibanding pengangguran terbuka. Contoh setengah penganggur adalah guru honorer di sekolah. Secara pekerjaan mereka bekerja sampai 6 hari seminggu dengan sepatu dan seragam, tetapi penghasilannya kecil sekali terkadang 160 ribu per bulan. Jumlah setengah penganggur ini menurut BPS mencapai 9,53 juta orang. Angka yang jauh diatas pengangguran terbuka.

Ada juga pekerja tidak penuh (less than normal working hours) seperti setengah penganggur itu dalam Survei Sakernas yaitu pekerja paruh waktu (part time worker) tetapi katagori yang ini menurut BPS, sukarela menerima kondisi kerjanya, tidak mencari pekerjaan lain. Tetapi pekerja paruh waktu ini menurut Sakernas Februari 2019 jumlahnya mencapai 29,3 juta orang.

Nasib sebagai penganggur baik yang terbuka maupun yang terselubung (setengah penganggur) itu tentu saja sangat memberatkan. Penganggur membutuhkan kelangsungan hidup, tidak beda dengan manusia lainnya, apalagi bagi yang sudah berkeluarga. Sementara subsidi dari orang tua ataupun keluarga sifatnya terbatas.

Dengan tidak memiliki penghasilan ataupun penghasilan yang sangat kecil sekali, maka jelas keluarga itu tidak akan bisa memenuhi kebutuhan keluarganya dengan maksimal seperti membeli popok ataupun susu buat anak balitanya. Dari wawancara dengan rekan-rekan yang dikatagorikan sebagai pengangguran terselubung itu bisa ditangkap dan didengarkan keluhan mereka. Diantaranya kebutuhan membesarkan bayinya. "Terus terang saja, biaya popok atau pempes itu cukup kenceng sekali untuk bayi saya", keluh seorang teman. Apalagi biaya susu, sehingga kondisi seperti ini potensial sebagai ancaman stunting bagi anak Indonesia.

Demikian pula dari segi mental, mereka yang menganggur akan tertekan dan menatap masa depannya dengan pandangan yang kosong. Apalagi melihat rekan seangkatannya yang banyak sudah berhasil.

Tidak kalah tertekannya sebenarnya juga adalah orang tua yang anaknya penganggur, yang melihat nasib anaknya tidak menentu. Sangat ingin para orang tua itu melihat anaknya memiliki pekerjaan dan penghidupan yang layak setelah menyelesikan pendidikan. Akan tetapi ternyata ikhtiarnya yang kuat tidak serta merta menyelesaikan masalah dengan cepat.

Sehingga pemandangan yang kita lihat sekarang ini, merupakan wajar-wajar saja yaitu banyak para sarjana yang berbeda bidang ilmu yang digeluti dengan latar belakang pendidikannya, karena mereka harus bekerja. Contohnya banyak sarjana Tehnik Sipil, yang dengan senang hati berprofesi sebagai guru PAUD, paling tidak itu terjadi pada istri saya. Ada banyak juga Sarjana Keperawatan yang sudah bergelar Nurse yang masih luntang lantung belum dapat pekerjaan, dan ada seorang teman perawat yang bernasib baik yaitu bisa menjadi Kaur Umum di desa, setelah diusut ternyata bapaknya jadi Kepala Desa. Demikian pula ada rekan sarjana yang keliling sebagai pedagang cilok (bakso tusuk) untuk anak-anak sekolah. Ada juga yang jadi sales pisau cukur keliling rumah dan kantor, dsbnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun