Pagi itu , saya  baru saja menyiapkan beberapa catatan  bahan tulisan, tiba-tiba beranda media sosial saya menampilkan potongan pidato Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dengan nada serius, beliau menyinggung soal gaji guru dan dosen yang kecil, lalu bertanya, "Apakah semuanya harus menjadi tanggungan negara?" Sekilas terdengar seperti pertanyaan sederhana, tetapi bagi saya, sebagai seorang praktisi pendidikan, kalimat itu menggelitik sekaligus mengusik.
Bagaimana tidak? Seumur saya berkecimpung di dunia pendidikan, jarang sekali saya mendengar seorang pejabat tinggi negara secara terbuka membicarakan soal kesejahteraan guru dan dosen. Apalagi, ini disampaikan menjelang peringatan kemerdekaan, saat kita seharusnya merefleksikan apakah pendidikan kita sudah benar-benar merdeka.
Di lapangan, saya melihat sendiri bagaimana guru menjadi pondasi pembentuk karakter dan dosen menjadi pilar pengetahuan bangsa. Mereka adalah peletak dasar sumber daya manusia, mempersiapkan generasi yang kelak diharapkan membawa Indonesia bersaing di dunia. Tetapi ironinya, banyak dari mereka masih harus memikirkan bagaimana membayar cicilan, menutup biaya hidup, bahkan ada yang mencari pekerjaan sampingan demi bertahan. Dalam manajemen sumber daya manusia, ini adalah kontradiksi besar. Disisi lain kita menuntut kinerja maksimal dari aset paling berharga, tetapi tidak memberinya dukungan yang layak.
Kita bisa melihat negara-negara yang serius menyiapkan masa depan bangsanya selalu menempatkan pendidik di garis prioritas. Finlandia, misalnya, menjadikan profesi guru setara dengan dokter dalam hal penghargaan sosial dan gaji. Seleksi ketat, pelatihan berkualitas, dan jaminan hidup membuat guru fokus sepenuhnya pada mendidik. Demikian juga Singapura, Â mereka memberi gaji kompetitif, jalur karier yang jelas, dan dukungan penuh, sehingga profesi guru menjadi incaran talenta terbaik.
Di Indonesia, saya masih menemui guru honorer yang gajinya bahkan tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, dan dosen yang harus mencari tambahan penghasilan di luar kampus. Hal ini bukan cerita lama, ini realitas hari ini. Lalu kita menggaungkan Indonesia Emas 2045. Pertanyaannya,bagaimana mungkin kita mencetak generasi emas jika pondasinya rapuh?
Sebagai praktisi, saya percaya anggaran pendidikan yang besar tidak otomatis menjamin kualitas SDM, tetapi  yang penting adalah bagaimana anggaran itu digunakan. Bila sebagian besar terserap untuk birokrasi, maka guru dan dosen hanya akan menerima sisa. Padahal, di tangan merekalah masa depan bangsa ini dibentuk.
Menjelang kemerdekaan, saya merasa kita harus berani jujur bahwa kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajah, tetapi juga memastikan pendidik merdeka dari tekanan ekonomi. Guru dan dosen yang sejahtera akan mengajar dengan tenang, mengembangkan diri, dan fokus pada murid atau mahasiswa. Sebaliknya, pendidik yang terus dihantui masalah finansial akan sulit sepenuhnya mengerahkan potensi terbaiknya.
Bagi saya, memerdekakan guru dan dosen adalah langkah pertama memerdekakan generasi mendatang dari keterbelakangan. Jika kita gagal memberi penghargaan yang layak bagi mereka, mimpi Indonesia Emas akan tinggal slogan yang terdengar nyaring setiap Agustus, tapi tak pernah benar-benar hidup di ruang kelas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI