Saya masih ingat dengan jelas hari itu, hari yang membuat saya panik bukan main. Dari arah lapangan basket terdengar tangisan keras seorang anak kecil. Ketika saya menoleh, ternyata itu anak saya sendiri. Ia terjatuh tersungkur, bibirnya jontor, dan gigi depannya patah.
Sebagai orangtua, hati saya langsung bergetar hebat. Darah di bibirnya, tangisannya yang tak berhenti, dan kilatan putih gigi yang tidak lagi utuh membuat saya seketika berpikir yang terburuk: bagaimana masa depan anak ini kalau giginya patah? Apakah ia akan tumbuh dengan gigi ompong selamanya? Bagaimana nanti ia tersenyum, berbicara, bahkan bergaul?
Saya belum tahu waktu itu bahwa teknologi kedokteran gigi modern ternyata sudah punya solusinya.
Panik dan Harapan di Klinik Gigi
Ketika dokter gigi memeriksa, saya berharap gigi yang patah itu masih gigi susu. Tapi ternyata bukan, itu gigi permanen, yang seharusnya bertahan seumur hidup. Dokter mengatakan sebagian kecil mahkota gigi depan anak saya patah, namun akarnya masih kuat dan sehat. Ada kabar baik: bagian yang hilang bisa ditambal kembali menggunakan bahan komposit yang warnanya mirip gigi asli.
Saya lega, tapi juga heran: bagaimana bisa teknologi sekecil itu memulihkan senyum anak saya?
Proses penambalan berlangsung singkat, tapi perasaan saya saat itu panjang sekali. Dalam hati saya berkata, semoga gigi ini kuat sampai ia dewasa nanti. Saya keluar dari klinik dengan hati yang lebih tenang, dan anak saya pun tersenyum kecil dengan gigi yang tampak utuh kembali.
Saya tak tahu, bahwa di balik senyum itu, ada makna besar yang baru saya pahami beberapa tahun kemudian.
Gigi dan Rasa Percaya Diri
Kini anak saya sudah beranjak remaja. Ia tumbuh menjadi pribadi yang aktif, banyak bergaul, dan penuh rasa ingin tahu. Namun beberapa waktu lalu, tambalan giginya mulai terkikis. Saat ia menunjukkan bagian yang tampak berbeda itu kepada saya, ada sedikit rasa khawatir yang kembali muncul, bukan hanya soal tambalan, tapi juga tentang rasa percaya dirinya.