Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Gunung Pun Lelah: Refleksi atas Penutupan Gede Pangranggo

14 Oktober 2025   08:51 Diperbarui: 14 Oktober 2025   08:51 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lapangan Suryakencana, Gede Pangrango, kini beristirahat dari hiruk-pikuk manusia. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Hari Senin, 13 Oktober 2025, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) resmi menutup seluruh jalur pendakian untuk waktu yang belum ditentukan. Keputusan ini disampaikan oleh Balai Besar TNGGP melalui pengumuman resmi, dengan alasan utama: pemulihan ekosistem dan pembersihan gunungan sampah di berbagai titik, termasuk di Lapangan Suryakencana padang rumput luas yang semestinya menjadi simbol keperkasaan dan keindahan alam tropis.

Bagi para pendaki, kabar ini bukan sekadar informasi teknis. Ini adalah tanda seru. Alam tampaknya sudah terlalu lama bersabar menanggung jejak keserakahan manusia.

Gunung yang Menjadi Tong Sampah

Beberapa tahun terakhir, jumlah pendaki ke Gede Pangrango meningkat pesat. Di akhir pekan, jalur pendakian via Cibodas atau Gunung Putri bisa menyerupai antrean pasar wisata. Namun di balik ramainya lalu lintas manusia, terselip tragedi senyap: gunung mulai sesak oleh sampah manusia.

Berdasarkan laporan lapangan, petugas menemukan tumpukan plastik makanan instan, botol air mineral, kaleng minuman, bahkan perlengkapan pribadi yang ditinggalkan begitu saja di area perkemahan. Di Suryakencana dan Alun-alun Pangrango, aroma sisa bakaran dan limbah domestik mengusik udara yang seharusnya paling murni.

Fenomena ini bukan khas Gede Pangrango saja. Gunung Everest di Himalaya kini dijuluki toilet tertinggi di dunia karena menumpuknya limbah manusia di jalur pendakian. Di berbagai gunung lain, dari Rinjani hingga Papandayan, ceritanya tak jauh berbeda. Manusia datang mencari ketenangan, tapi yang ditinggalkan justru kekacauan.

Ketika Alam Tak Lagi Tahan

Mungkin gunung tidak marah. Ia hanya lelah. Sama seperti sungai yang muram karena tertutup sampah plastik, atau laut yang mengandung mikroplastik di setiap tegukan airnya. Penutupan Gede Pangrango menjadi cermin bahwa alam akhirnya memilih beristirahat. Selanjutnya kita manusia, seharusnya ikut diam sejenak untuk mendengar napasnya yang tersengal.

Saya teringat masa ketika masih menjadi pembina Siswa Pecinta Alam (Sispala) di sekolah. Kami selalu menanamkan tiga prinsip sederhana:

"Jangan tinggalkan apa pun kecuali jejak. Jangan ambil apa pun kecuali gambar. Jangan bunuh apa pun kecuali waktu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun