Nilai itu dulu terasa sakral, seperti mantra pendaki sejati. Tapi kini, banyak orang datang ke gunung bukan lagi untuk belajar menghormati kehidupan, melainkan untuk mencari konten, pengakuan, dan eksistensi digital. Kamera bekerja, tapi hati membeku.
Refleksi yang Tak Sekadar Repetisi
Bicara soal sampah di gunung memang terasa basi. Sudah ribuan kali disuarakan, dari media nasional hingga komunitas pecinta alam. Tapi kebasannya justru menunjukkan betapa sedikit yang berubah.
Kita hidup di zaman ketika kesadaran lingkungan sering berhenti di unggahan media sosial. Orang menulis save the earth sambil menyalakan api unggun dengan plastik bekas mie instan. Kita mengutuk pencemar, tapi diam-diam masih membuang limbah kecil ke sungai belakang rumah.
Tulisan ini bukan sekadar pengulangan seruan lama. Ini katarsis kolektif, pelepasan beban yang kita semua tanggung: rasa malu karena gagal menjaga bumi yang kita puja-puji dalam puisi, tapi kita lukai dalam praktik sehari-hari.
Gunung Tak Butuh Kita, Kita yang Butuh Gunung
Mari jujur: manusia sering berasumsi bahwa gunung membutuhkan kita sebagai penjaga, pendaki, atau peneliti. Padahal kenyataannya, kitalah yang butuh gunung untuk merasa kecil, untuk kembali belajar arti rendah hati di hadapan sesuatu yang lebih besar dari ambisi pribadi.
Jika gunung bisa berbicara, mungkin ia akan berkata, "Aku tidak marah, aku hanya ingin sendiri dulu." Maka penutupan TNGGP bukan sekadar larangan, tapi do'a agar manusia berhenti sejenak, merenung, dan menata ulang hubungan dengan alam.
Harapan Setelah Penutupan
Pihak TNGGP menyebutkan bahwa penutupan kali ini akan diikuti dengan kegiatan pembersihan besar-besaran dan evaluasi sistem pengelolaan sampah. Petugas dan relawan akan bekerja membersihkan area rawan, memperbaiki jalur yang rusak, serta meninjau ulang sistem kuota pendakian.
Jika program ini benar-benar dijalankan dengan serius, penutupan sementara bisa menjadi awal kebangkitan baru. Bukan hanya bagi gunung, tapi juga bagi kesadaran manusia.