Ada sesuatu yang menenangkan setiap kali saya menatap ayakan anyaman bambu, berisi kacang panjang segar hasil panen yang saya petik sendiri. Warnanya hijau lembut, ujungnya melengkung, dan sebagian masih tampak basah oleh embun pagi. Di belakang rumah batang-batangnya menjulur dari pagar, menjalar ke mana-mana menandai batas waktu kenangan masa kecil.
Di kampung kami, kacang panjang adalah bagian dari ritme hidup. Tiap kali saat panen tiba, ibu selalu berkata: "Kacang panjangmu sudah bisa dipetik, buruan pulang." Selanjutnya seperti biasa, saya pun tergoda pulang, seolah panggilan kerinduan pada ibu, diperkuat aroma tanah, suara jangkrik, dan desir angin di antara batang kacang yang menjalar di pematang sawah.
Kacang Panjang yang Tak Pernah Menjadi Pendek
Saya pernah melontarkan teka-teki kecil kepada keponakan saya:
"Sayur apa yang kalau dipotong bahkan dicincang, tetap saja tak bisa menjadi pendek?"
Mereka berpikir keras, sebelum akhirnya saya menjawab sambil tertawa, "Ya, kacang panjang!"
Tawa mereka sekaligus mengingatkan saya bahwa pada hal sederha pun, ada kearifan yang bisa kita temukan. Kacang berbentuk panjang itu bukan sekadar bentuk, tapi tentang daya tahan, tentang sesuatu yang tetap berarti meski terpotong-potong oleh waktu.
Dari Sawah ke Meja Makan
Di kampung, kacang panjang tumbuh tanpa banyak perhatian. Ia menjalar di pagar, meniti galah bambu, dan sering dibiarkan merambat di antara rumpun pisang atau pepohonan. Namun, begitu panen tiba, ia menjadi alasan kecil bagi keluarga untuk berkumpul di dapur.
Saya masih ingat aroma khasnya saat ibu menyiapkan karedok, suara ulekan cobek yang berpadu dengan tawa adik saya yang selalu merasa kebanyakan cabe. Bumbunya sederhana, tapi tak pernah gagal menghadirkan kenangan: kencur yang segar, cabe rawit yang menggigit, terasi yang dibakar sebentar, dan garam secukupnya. Kadang ditambah gula merah dan perasan jeruk limau agar rasanya lebih seimbang.
Tak ketinggalan tentu saja, daun kemangi.
Bau wangi khasnya menyempurnakan rasa, menegaskan sayuran alami yang masih murni.
Karedok: Filosofi dari Cobek Batu
Di kota, orang sering menyebut karedok sebagai salad khas Sunda. Tapi bagi saya, itu sebutan yang terlalu datar. Karedok bukan sekadar sayuran mentah yang disiram bumbu kacang: ia adalah cerita tangan ibu, suara lesung di dapur, dan suasana kampung yang tak bisa diganti dengan dressing modern.
Ulekan kencur dan cabe rawit menyimpan pesan: bahwa kesederhanaan bisa menjadi kemewahan, jika kita tahu cara menikmatinya.
Saat saya mencicipi suapan pertama, rasa getir, pedas, gurih, dan segar bertemu begitu alami. Tidak ada bahan buatan pabrik, tidak ada pewarna, hanya hasil bumi yang diolah dengan intuisi dan pengalaman.
Di situlah, mungkin, letak kearifan lokal yang sering luput kita sadari. Bahwa makanan adalah salah satu cara kita menjaga keseimbangan antara rasa, waktu, dan alam.
Sehat dan Bersahaja
Kini banyak ahli gizi menyebut kacang panjang sebagai sayuran yang menyehatkan. Kaya serat, rendah kalori, dan mengandung antioksidan alami. Tapi jauh sebelum istilah diet atau vegan menjadi tren, orang kampung sudah lebih dulu mengamalkannya secara alami.
Mereka makan sayur dari kebun sendiri, bumbu dari rempah yang tumbuh di belakang rumah, dan nasi dari sawah yang mereka garap bersama. Tanpa mereka sadari, pola hidup itu jauh lebih berkelanjutan daripada gaya hidup organik yang kini dianggap prestisius.
Saya sering tersenyum membayangkan: mungkin, kalau karedok lahir hari ini, ia akan dijual mahal di kafe dengan nama baru Green Bean Salad with Spicy Peanuts Sauce and Basil Leaf. Tapi di kampung, ia tetaplah karedok kacang panjang, sederhana tapi penuh makna.
Aroma Pulang
Setiap kali saya pulang, ada aroma yang membuat saya betah duduk di dapur: bau tanah basah dari kebun, wangi kemangi dari ulekan ibu, dan suara gemerisik daun di luar jendela. Semua itu berpadu menjadi melodi kecil yang tak bisa dicari di kota mana pun.
Kacang panjang memang sayuran biasa, tapi ia mampu mengikat kenangan luar biasa: tentang masa kecil, tentang sawah yang menguning, dan tentang tangan ibu yang tak pernah lelah menyiapkan makanan untuk anak-anaknya.
Di piring ayakan anyaman bambu itu, saya belajar satu hal sederhana: bahwa panjangnya hidup bukan diukur dari waktu yang kita punya, tapi dari rasa yang sempat kita nikmati dengan sepenuh hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI