Beas Perelek bukan sekadar kegiatan menabung beras. Ia adalah wujud gotong royong yang paling halus: bentuk empati sosial yang tumbuh dari kesadaran, bukan instruksi.
Di balik satu sendok beras tersimpan filosofi sareundeuk saigel sabobot sapihanean (senasib dan sepenanggungan).
Tradisi ini menjadi semacam jaminan sosial alami bagi warga kampung. Tak ada asuransi, tak ada bantuan resmi, tapi ada keyakinan bahwa kalau satu orang kesulitan, yang lain siap membantu. Nilainya kecil, tapi maknanya besar: bahwa kesejahteraan dimulai dari kebersamaan.
Antara Semangat dan Kenyataan
Namun seperti kebanyakan gerakan sukarela, Beas Perelek tak selalu bertahan lama.
Biasanya, semangat menggebu hanya bertahan dua atau tiga bulan. Setelah itu mulai redup. Alasannya beragam: pengumpul enggan berkeliling karena hasilnya sedikit, warga lupa menyisihkan beras, atau merasa "toh tak ada yang datang menagih."
Kadang, kegiatan itu benar-benar berhenti. Baru ketika muncul kebutuhan mendesak: misalnya perbaikan mushola, jalan kampung rusak, atau warga sakit, barulah tradisi itu dihidupkan kembali. Masyarakat pun kembali giat menabung beras, seolah teringat kembali manfaatnya.
Padahal, seandainya Beas Perelek dijalankan secara konsisten, kebutuhan semacam itu bisa lebih mudah ditangani. Tidak perlu panik mencari dana atau bantuan mendadak. Tapi di situlah sifat alami masyarakat kita: cenderung reaktif, bukan antisipatif. Gotong royong baru menguat ketika ada masalah yang tampak di depan mata.
Kearifan Lokal yang Menjadi Inspirasi
Kalau dipikir-pikir, semangat Beas Perelek dan donasi Rp 1.000/hari dari pemerintah sesungguhnya sejalan: menumbuhkan kepedulian sosial lewat kebiasaan kecil.
Perbedaannya hanya pada asal gerakannya. Beas Perelek lahir dari bawah, dari kesadaran rakyat. Sementara donasi Rp 1.000/hari datang dari atas, dari kebijakan negara.
Yang satu berakar pada tradisi, yang lain dibingkai oleh administrasi.
Namun keduanya bergantung pada hal yang sama: rasa memiliki dan kepercayaan masyarakat.
Jika orang percaya bahwa hasilnya benar-benar kembali untuk kepentingan bersama, maka semangat itu akan bertahan. Tapi jika kepercayaan hilang, gerakan apa pun, sebaik apa pun niatnya, akan sulit hidup lama.
Pelajaran untuk Zaman Kini
Tradisi Beas Perelek mungkin tak lagi mudah ditemukan. Celengan bambu di depan rumah sudah jarang terlihat, dan generasi muda lebih mengenal tabungan digital ketimbang tabungan beras. Tapi nilai yang terkandung di dalamnya tetap relevan: kesadaran untuk berbagi, meski hanya sedikit.