Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Benalu di Pohon Teh Milik PTPN VIII: Ketika Warga Hanya Menyeduh

10 Oktober 2025   04:31 Diperbarui: 10 Oktober 2025   16:11 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun teh milik PTPN VIII disepanjang jalan daerah Jalancagak, Subang. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Saya sering melihat ibu-ibu membawa pulang benalu teh dalam karung kecil seusai memetik. Ada yang menyimpannya untuk keluarga, ada pula yang menjualnya ke pembeli yang datang khusus dari luar daerah. Rasanya agak getir, tapi diyakini bermanfaat. Pengetahuan tentang khasiat itu tidak datang dari laboratorium, melainkan dari pengalaman dan cerita yang diwariskan turun-temurun.

Dari situ saya merasa, benalu teh itu seperti simbol kecil kebijaksanaan rakyat.
Teh yang resmi dimiliki negara, diolah pabrik, dan dijual ke pasar, mungkin tidak bisa diakses warga. Tapi benalunya yang tumbuh liar tanpa izin siapa pun, justru menjadi sumber pengetahuan dan penghidupan. 

Ia hidup dari pohon besar yang kokoh, tapi tidak menyainginya. Ia menumpang hidup, namun memberi manfaat bagi yang tahu cara menggunakannya.

Di tengah sistem besar yang membuat warga hanya jadi penonton di tanah sendiri, benalu teh memberikan sesuatu: bahwa kehidupan selalu menemukan celah untuk tumbuh. Dari yang dianggap liar dan tak bernilai, lahir kemandirian kecil, kebijaksanaan lokal, dan nilai ekonomi yang tidak bisa dihitung oleh pabrik mana pun.

Saya sering berpikir, seandainya ada satu-dua warga yang mencoba mengolah teh sendiri, mungkin ceritanya akan berbeda. Barangkali akan lahir Teh Ciater atau Teh Jalancagak buatan rumahan, yang dijual di warung atau disuguhkan kepada wisatawan yang datang berendam air panas. Tapi selama kebun itu tetap dikuasai korporasi besar, warga hanya akan menjadi pemetik, bukan peracik.

Selanjutnya begitulah kehidupan di Subang selatan.
Kami hidup di antara kabut dan aroma teh, tapi tak punya hak atas daunnya. Kami menyeduh teh setiap hari, tapi dari merek yang datang dari luar. Kami tidak punya kebun teh sendiri, tapi kami punya benalu teh, dan mungkin, di sanalah kami belajar tentang arti sederhana dari merdeka secara kecil-kecilan: tidak selalu harus memiliki kebun, cukup bisa menemukan manfaat dari apa yang tumbuh di sekitarnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun