Di daerah saya, Subang bagian selatan, teh bukan sekadar minuman: ia sudah menjadi bagian dari napas keseharian. Hampir di setiap rumah, selalu ada teko berisi air teh hangat di atas meja, siap diseruput kapan saja.Â
Teh menemani obrolan pagi, sarapan, hingga tamu yang datang sore hari. Di dapur mana pun, suara air mendidih dan aroma teh yang perlahan keluar dari teko sudah seperti bahasa sendiri: bahasa keramahan orang kampung yang sederhana.
Namun, ada sesuatu yang ganjil bila dipikir-pikir. Teh yang kami minum itu bukan dari kebun yang tumbuh di sekitar kami. Padahal, dari Jalancagak ke timur Kasomalang, ke barat Purwakarta, hingga ke selatan Ciater dan kaki Tangkuban Perahu, terbentang luas kebun teh sejauh mata memandang. Hamparan hijau yang indah dipotong jalan berliku dan kabut pagi. Tapi tak sehelai pun daun teh itu milik warga.
Saya pernah mengunjungi pabrik tehnya di Ciater. Di sana, saya ditunjukkan bagaimana daun teh dipetik, digulung, dikeringkan, lalu diolah hingga menjadi teh siap saji. Semua tampak rapi dan modern. Tapi begitu saya keluar dari pabrik, saya menyadari sesuatu: warga sekitar hanya menjadi pemetik, bukan pengolah. Mereka tidak tahu cara meracik teh hijau, teh hitam, atau teh melati. Bahkan tidak ada satu pun warga yang menanam pohon teh di pekarangan rumah, sebagaimana mereka menanam kopi atau cengkeh.
Itu karena semua kebun teh di sana milik PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII), perusahaan negara yang mengelola lahan perkebunan sejak masa kolonial. Struktur semacam itu membuat warga hanya menjadi tenaga kerja, bukan pelaku utama. Mereka tahu cara memetik daun muda yang lembut, tapi tidak tahu apa yang terjadi setelah daun-daun itu dimasukkan ke karung.
Meski hidup di tengah kebun teh, kami justru minum teh dari pabrik lain. Di pasar, teh yang paling dikenal adalah teh cap Poci teh murah yang dijual dalam bungkus sederhana. Warnanya pekat, aromanya tajam, dan diseduh tanpa penyaring. Kadang, ketika diminum, serpihan daun tehnya ikut tertelan. Tapi di situlah nikmatnya: teh bukan soal kemasan, melainkan kebersamaan.
Teh cap Poci adalah teh orang pinggir gunung. Diseduh dengan air panas dari ceret, dituangkan ke teko enamel, lalu diminum sambil berbincang di beranda. Sementara teh celup Sosro dengan kemasan rapi dan gaya praktisnya biasanya milik orang kota, atau mereka yang ingin serba cepat. Dua-duanya sama-sama teh, tapi rasanya membawa dunia yang berbeda. Yang satu lahir dari kebiasaan menunggu, yang lain dari kebiasaan terburu-buru.
Ironisnya, di wilayah yang dikelilingi kebun teh, tak satu pun rumah warga menyajikan teh hasil olahan sendiri. Semua datang dari luar. Teh menjadi komoditas industri, bukan budaya lokal. Tapi justru di celah-celah itulah warga menemukan sesuatu yang lebih milik mereka: benalu teh.
Benalu ini tumbuh liar di batang atau ranting pohon teh. Di pabrik, ia dianggap pengganggu, tapi bagi warga dan banyak orang di luar sana benalu teh justru sangat dicari. Harganya bisa tinggi karena dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan, terutama untuk membantu menurunkan kadar gula darah.
Saya sering melihat ibu-ibu membawa pulang benalu teh dalam karung kecil seusai memetik. Ada yang menyimpannya untuk keluarga, ada pula yang menjualnya ke pembeli yang datang khusus dari luar daerah. Rasanya agak getir, tapi diyakini bermanfaat. Pengetahuan tentang khasiat itu tidak datang dari laboratorium, melainkan dari pengalaman dan cerita yang diwariskan turun-temurun.
Dari situ saya merasa, benalu teh itu seperti simbol kecil kebijaksanaan rakyat.
Teh yang resmi dimiliki negara, diolah pabrik, dan dijual ke pasar, mungkin tidak bisa diakses warga. Tapi benalunya yang tumbuh liar tanpa izin siapa pun, justru menjadi sumber pengetahuan dan penghidupan.Â
Ia hidup dari pohon besar yang kokoh, tapi tidak menyainginya. Ia menumpang hidup, namun memberi manfaat bagi yang tahu cara menggunakannya.
Di tengah sistem besar yang membuat warga hanya jadi penonton di tanah sendiri, benalu teh memberikan sesuatu: bahwa kehidupan selalu menemukan celah untuk tumbuh. Dari yang dianggap liar dan tak bernilai, lahir kemandirian kecil, kebijaksanaan lokal, dan nilai ekonomi yang tidak bisa dihitung oleh pabrik mana pun.
Saya sering berpikir, seandainya ada satu-dua warga yang mencoba mengolah teh sendiri, mungkin ceritanya akan berbeda. Barangkali akan lahir Teh Ciater atau Teh Jalancagak buatan rumahan, yang dijual di warung atau disuguhkan kepada wisatawan yang datang berendam air panas. Tapi selama kebun itu tetap dikuasai korporasi besar, warga hanya akan menjadi pemetik, bukan peracik.
Selanjutnya begitulah kehidupan di Subang selatan.
Kami hidup di antara kabut dan aroma teh, tapi tak punya hak atas daunnya. Kami menyeduh teh setiap hari, tapi dari merek yang datang dari luar. Kami tidak punya kebun teh sendiri, tapi kami punya benalu teh, dan mungkin, di sanalah kami belajar tentang arti sederhana dari merdeka secara kecil-kecilan: tidak selalu harus memiliki kebun, cukup bisa menemukan manfaat dari apa yang tumbuh di sekitarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI