Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara "Nyalindung ka Gelung" dan " Ulah Siga Manuk Puyuh": Belajar dari Kearifan Sunda tentang Peran Rumah Tangga

9 Oktober 2025   20:39 Diperbarui: 9 Oktober 2025   21:47 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika suami mendukung langkah istri, usaha tumbuh, dan cinta ikut berbuah.(SHUTTERSTOCK/TIRACHARD KUMTANOM via Kompas.com)

Nyalindung ka gelung, begitu orang Sunda dulu menyindir lelaki yang hidupnya bergantung pada istrinya. Ungkapan ini menggambarkan suami yang berlindung di balik sanggul sang istri: malas bekerja, gemar tidur, dan tidak berdaya tanpa penghasilan pasangannya. 

Dalam pandangan masyarakat tradisional, itu aib: karena laki-laki dianggap wajib menjadi tulang punggung keluarga.

Namun, di ujung lain, ada juga pepatah ulah siga manuk puyuh (jangan seperti burung puyuh). Ini bukan untuk laki-laki, melainkan sindiran bagi perempuan yang meninggalkan anak-anaknya, seperti puyuh betina yang menyerahkan telurnya untuk dierami oleh si jantan. 

Artinya: perempuan yang abai pada peran keibuannya, karena terlalu sibuk atau terlalu ingin bebas.

Dua peribahasa ini seolah menegaskan dua kutub yang berseberangan:
laki-laki tak boleh lemah, dan perempuan tak boleh lalai.
Namun, kalau dicermati lebih dalam, keduanya sejatinya menuntut hal yang sama: tanggung jawab dalam menjalankan peran.

Di era modern, peran itu mulai bergeser. Banyak pasangan yang kini bersepakat: siapa pun yang lebih siap, dia yang bekerja. Ada suami yang memilih di rumah mengurus anak karena istrinya lebih mapan secara finansial, dan itu bukan hal tabu. Sebaliknya, ada pula istri yang tetap ingin berdaya tanpa melupakan peran keibuannya. Semua bergantung pada komitmen, komunikasi, dan keikhlasan.

Sayangnya, tidak semua siap menghadapi perubahan ini.
Sebagian masyarakat masih terpaku pada bayangan lama: bahwa laki-laki harus bekerja di luar, perempuan di dapur. Maka ketika seorang pria menjadi bapak rumah tangga, komentar sinis segera datang : "nyalindung ka gelung," katanya. Padahal bisa jadi, justru di balik rumah itulah ia menunjukkan cinta dan tanggung jawab yang besar.

Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana keluarga dekat saya membuktikan bahwa berbagi peran bisa membawa keberkahan.
Suaminya, yang semula bekerja di luar kota, harus memilih antara tetap berkarier tapi jauh dari keluarga, atau berhenti dan mendampingi istrinya yang tengah merintis usaha busana. Ia memilih yang kedua: meninggalkan gaji tetap, tapi menjaga keutuhan rumah tangga.

Sejak itu, mereka bekerja sama. Sang istri menekuni dunia bisnis, sementara sang suami mengurus rumah, membantu pengiriman pesanan, bahkan sesekali menjadi sopir pribadi untuk istrinya. Tak ada gengsi, tak ada rasa kalah. Justru yang muncul adalah rasa saling menghargai.

Ketika saya bertanya apa kunci keberhasilan mereka, sang istri menjawab dengan tenang,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun