Mohon tunggu...
agus hendrawan
agus hendrawan Mohon Tunggu... Tenaga Kependidikan

Pendidikan, menulis, berita, video, film, photografi, sinematografi, alam, perjalanan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kerajaan yang Tak Kami Tahu Masih Ada

5 Oktober 2025   18:09 Diperbarui: 5 Oktober 2025   18:09 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wa Iim dan Wa Euis memenuhi undangan Sri Raja Rd. H. I. Lukman Soemadi Soeria. Keraton Sumedang Larang. (Sumber: Dokumen Keluarga)

Suatu hari, kabar mengejutkan datang: pihak Keraton Sumedang Larang mencari keturunan salah satu selir kerajaan, dan nama keluarga kami tercantum di dalamnya.

Kami sempat saling berpandangan. "Kerajaan Sumedang masih ada?" tanya seseorang spontan. Lalu tawa pun pecah, diiringi rasa heran yang sama: selama ini kami tinggal tak jauh dari Sumedang, tapi tak pernah benar-benar tahu bahwa di sana masih berdiri sebuah keraton yang hidup, lengkap dengan silsilah, artefak, dan raja yang ditunjuk secara resmi.

Bagi kami, nama keraton selalu identik dengan Jogja, Solo, atau Cirebon. Sumedang? Paling-paling dikenal karena tahu dan ubi cilembu. Tapi rupanya, jauh di balik citra kulinernya yang melekat, Sumedang menyimpan warisan sejarah besar yang masih berdenyut: Keraton Sumedang Larang.

Awal yang Tak Disangka

Kisah ini berawal ketika pihak keraton menelusuri kembali silsilah keturunan para bangsawan lama. Dari hasil penelusuran mereka, nama Ibu Suhaemi atau Nenek Onih leluhur kami muncul dalam daftar sebagai keturunan salah satu selir kerajaan.

Reaksi kami? Tentu saja heran. Hidup kami sederhana, tidak ada sedikit pun aroma kebangsawanan dalam darah ini. Maka ketika undangan resmi datang, kami menganggapnya aneh tapi menarik. "Kalau benar, ya alhamdulillah. Kalau salah, paling jadi bahan cerita," kata Wa Iim Efendi, anak laki-laki Nenek Onih yang masih ada, beliau akhirnya berangkat sebagai perwakilan keluarga.

Di Keraton Sumedang Larang, Wa Iim disambut dengan ramah. Ia berfoto bersama tokoh-tokoh keraton, menerima salinan silsilah dan penyematan gelar Raden Iim Efendi. Dari foto-fotonya, terlihat bangunan tua berlantai kayu, dinding penuh foto leluhur, serta artefak seperti kujang, tombak, dan mahkota bukti bahwa kerajaan ini memang masih dijaga keberadaannya.

Berfoto bersama keluarga Keraton Sumedang Larang. (Sumber: Dokumen Keluarga)
Berfoto bersama keluarga Keraton Sumedang Larang. (Sumber: Dokumen Keluarga)

Selanjutnya di titik itu kami baru sadar: kerajaan Sumedang bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia nyata, hidup, dan memiliki peran kultural yang penting hingga hari ini.

Sumedang Larang: Warisan yang Bertahan di Tengah Zaman

Keraton Sumedang Larang memiliki akar panjang. Berdiri sejak abad ke-16, kerajaan ini pernah menjadi penerus spiritual dan politik dari Kerajaan Pajajaran. Tokohnya yang terkenal adalah Prabu Geusan Ulun, yang disebut-sebut sebagai penerima regalia Pajajaran simbol legitimasi kekuasaan Sunda setelah kerajaan besar itu runtuh.

Namun, seperti banyak kerajaan lokal lainnya, pamornya perlahan memudar seiring datangnya kolonialisme dan modernisasi. Masyarakat lebih mengenal Sumedang sebagai daerah administratif ketimbang pusat kebudayaan Sunda.

Menariknya, keraton ini tidak mati. Hingga kini, masih ada struktur keluarga kerajaan, upacara adat, dan pelestarian artefak bersejarah. Pihak keraton juga aktif melakukan penelusuran genealogis, bukan untuk mencari keturunan bangsawan baru, tetapi untuk menyambung kembali tali sejarah yang nyaris terputus.

Antara Ingatan dan Identitas

Kisah keluarga kami hanyalah contoh kecil dari fenomena yang lebih besar: betapa mudahnya masyarakat modern kehilangan ingatan akan akar budayanya sendiri.

Kami lahir dan besar di tanah Sunda, tapi tahu tentang kerajaan Sunda justru lebih banyak dari buku pelajaran, bukan dari warisan tutur. Tak heran jika kabar tentang adanya keraton yang masih hidup di Sumedang terasa asing bagi telinga kami.

Padahal, di balik semua itu, keraton bukan sekadar simbol bangsawan. Ia adalah penjaga identitas budaya. Di sanalah tersimpan nilai-nilai yang membentuk jati diri masyarakat: tata krama, kesopanan, rasa hormat pada leluhur, dan semangat silih asih, silih asah, silih asuh nilai luhur yang mulai luntur di era serba cepat ini.

Menemukan Makna di Balik Warisan

Ketika Wa Iim pulang dari keraton, ia hanya berkata pelan, "Ternyata sejarah itu masih ada, tinggal kita mau percaya atau tidak." Kalimat itu terdengar sederhana, tapi mengandung makna dalam.

Kami lalu merenung: mungkin benar, kadang kita terlalu sibuk menatap masa depan, hingga lupa menoleh ke belakang. Padahal, menelusuri asal-usul bukanlah bentuk kesombongan, melainkan cara untuk memahami siapa diri kita sebenarnya.

Keraton Sumedang Larang menunjukkan bahwa kebudayaan tidak selalu hidup di museum atau monumen. Ia bisa tetap tumbuh di tengah masyarakat, dalam bentuk silaturahmi, gotong royong, atau sekadar kesediaan mendengarkan kisah lama dari para tetua.

Selanjutnya barangkali, di situlah letak nilai sejatinya: bahwa sejarah bukan untuk diagungkan, melainkan untuk dikenali dan diteruskan.

Jejak yang Tak Pernah Hilang

Kini, setiap kali nama Sumedang disebut, kami tidak lagi hanya teringat pada tahu dan cilembu. Kami teringat bahwa di balik itu semua, ada sebuah keraton yang masih berdiri sunyi tapi bermakna, tua tapi berdenyut.

Mungkin sebagian orang masih menganggap kisah seperti ini dongeng. Tapi bagi kami, ini bukti bahwa warisan budaya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu ditemukan kembali oleh generasi yang bersedia menelusuri jejaknya.

Selanjutnya ketika jejak itu ditemukan, bukan rasa bangga yang tumbuh, melainkan rasa syukur bahwa kami masih bagian dari cerita panjang yang membentuk siapa kita hari ini.

Kami yang di rumah hanya bisa mengangguk pelan. Antara takjub, geli, dan entah bagaimana, sedikit terharu. Seolah-olah sebuah cerita lama yang nyaris hilang tiba-tiba menemukan bentuknya kembali.

Namun tetap saja, kami tak ingin terlalu larut. Bagi kami, gelar dan garis darah hanyalah bagian kecil dari kehidupan yang lebih besar. Sejak dulu, keluarga kami tumbuh dari kerja keras, bukan warisan kebangsawanan. Wa Iim sendiri lebih dikenal sebagai sosok humoris yang ringan tangan membantu siapa pun.

Meski begitu, di sela canda-candanya, Wa Iim meyakinkan kami, "Jejak kerajaan itu masih ada, hanya saja kita lupa mencarinya." Kalimat itu lama-lama terdengar seperti refleksi, bukan sekadar candaan. Bahwa setiap keluarga, sekecil apa pun, punya sejarah yang layak dikenali dan disyukuri.

Saya pun merenung. Mungkin benar, setiap keluarga membawa sisa masa lalu yang tak sepenuhnya hilang. Ada jejak darah, kisah, dan nama yang mengalir pelan dalam diri kita, meski tak terlihat. Kadang sejarah itu tertidur di balik cerita-cerita sederhana, dan baru bangun ketika ada yang berani menelusuri.

Kisah Wa Iim ke keraton mungkin bukan sekadar tentang silsilah atau gelar, melainkan tentang pencarian identitas. Tentang rasa ingin tahu: dari mana kita berasal, siapa nenek moyang kita, dan apa yang mereka wariskan bukan dalam bentuk mahkota atau gelar, melainkan nilai-nilai hidup yang membuat kita tetap berdiri tegak hari ini.

Mungkin, seperti yang Wa Iim alami, sejarah itu memang tidak harus megah. Ia bisa muncul lewat perjalanan kecil, dari orang biasa yang tiba-tiba dipanggil ke tempat bersejarah.

Kini, setiap kali keluarga berkumpul, cerita tentang kunjungan ke Keraton Sumedang Larang selalu muncul di sela obrolan. Ada yang masih tertawa, ada yang sudah mulai percaya, dan ada juga yang hanya mengangguk sambil tersenyum. Tapi satu hal yang pasti: kami semua merasa punya lembar baru dalam sejarah keluarga.

Entah benar entah tidak, kisah ini sudah menjadi bagian dari kami. Sebuah pengingat bahwa akar keluarga bukan hanya tentang siapa yang mulia atau tidak, tapi tentang bagaimana kita menjaga cerita itu agar tak hilang ditelan waktu.

Mungkin suatu hari nanti, anak-cucu kami akan membaca kisah ini dan tersenyum seperti kami dulu. Mereka akan tahu bahwa pernah ada seorang Wa Iim yang berangkat ke keraton dengan baju batik hitam, disambut dengan hangat, dan pulang membawa selembar silsilah serta gelar yang lebih mirip hadiah dari masa lalu.

Selanjutnya dari sanalah, mereka akan tahu: bahwa tawa, kerendahan hati, dan rasa ingin tahu adalah warisan yang sesungguhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun