"Kalau kamu mau panjang umur, harus mau minum obat! Kamu mau panjang umur?"
Kalimat itu diucapkannya dengan nada tegas yang nyaris seperti perintah. Saya hanya bisa mengangguk-angguk sambil tersenyum kecut, bukan karena sepakat sepenuhnya, tetapi karena sudah terlalu lelah untuk berdebat. Di ruang praktik yang dingin itu, kata-kata dokter terdengar seperti vonis hidup sekaligus harapan.
Saya datang ke ruang praktik itu dengan tubuh yang terasa seperti komputer ngehang. Malam-malam saya sering terjaga, mata tak mau terpejam meski badan meronta ingin istirahat.
Yang paling membuat saya bingung adalah kecemasan yang datang tanpa sebab jelas: Jantung berdegup kencang, kaki terasa dingin menjalar ke tubuh bagian atas, pikiran berputar tanpa arah.
Puncaknya saya dilanda panik luar biasa, seperti komputer yang akhirnya mereset sendiri setelah ngehang. Begitu pulih, saya merasa segar kembali tetapi saya tahu, siklus itu bisa datang kapan saja.
Di titik inilah saya menyerah dan memutuskan mencari pertolongan profesional. Itulah awal pertemuan saya dengan dokter yang kelak saya kenal sebagai orang yang saklek dalam berbicara, tetapi justru membantu saya menemukan arah.
Pertemuan Pertama: Dokter Saklek dan Ego yang Menolak
Saya masih ingat hari pertama masuk ke ruang praktiknya: tidak ada senyum basa-basi, tidak ada kata sambutan yang manis. Ia langsung mempersilakan saya duduk, lalu mendengarkan keluhan saya dengan raut wajah datar.
Setelah saya selesai bercerita panjang lebar tentang malam yang panjang, serangan panik, dan rasa takut yang tak jelas asal-usulnya, dokter itu hanya mengangguk pelan. Kemudian, dengan suara yang dalam dan tegas, ia berkata:
"Orang sakit itu perlu obat. Bukan cuma kamu. Banyak orang minum obat seumur hidup karena diabetes, hipertensi. Saya dokter, tiap hari juga minum obat. Kalau nggak percaya, ini buktinya!"