Pembukaan
Beberapa bulan terakhir, dunia diguncang oleh fenomena yang tak bisa diabaikan: generasi Z muncul sebagai kekuatan sosial-politik baru.
Di Nepal, pemerintah jatuh dan perdana menteri baru dipilih melalui aplikasi Discord, seolah negara ini sedang bermain gim daring.
Di Timor Leste, tekanan digital Gen Z berhasil membuat pemerintah mencabut kebijakan yang dinilai merugikan rakyat.
Di Paris dan London, ribuan anak muda turun ke jalan, mengguncang kota dengan demonstrasi yang terorganisir lewat media sosial.
Fenomena ini bukan sekadar berita viral. Ini adalah tanda zaman.
Seperti pepatah Sunda, urat kawat, tulang beusi, buta tulang, buta daging, begitulah semangat mereka: penuh tenaga, pantang menyerah, bahkan siap mengorbankan apa saja demi keyakinan yang mereka pegang.
Bagi generasi tua, pemandangan ini memunculkan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, kita kagum pada keberanian mereka.
Di sisi lain, kita khawatir akan arah yang dituju.
Pertanyaan pun muncul: apakah kita harus percaya sepenuhnya pada mereka, atau justru waspada terhadap energi yang bisa menghancurkan?
Ketika Energi Berubah Jadi Badai
Sejarah mencatat bahwa semangat muda adalah bahan bakar perubahan.
Namun, bahan bakar yang melimpah juga bisa meledak bila tak diarahkan.
Gerakan Gen Z sering kali dimulai dengan idealisme, namun mudah ditunggangi kepentingan tersembunyi.
Di Nepal, euforia demokrasi digital sempat berubah menjadi kekacauan politik.
Di Prancis, demonstrasi yang awalnya damai berakhir ricuh, memicu kerusakan dan perpecahan.
Di Indonesia sendiri, gejala serupa mulai tampak: polarisasi di ruang digital, narasi yang memecah belah, dan kekecewaan yang makin dalam.
Generasi muda bagaikan air bah. Mereka bisa menjadi sungai yang mengairi sawah, atau banjir yang menghancurkan pematang, tergantung bagaimana energi itu dikelola.
Jeujeur dan Ikan yang Berontak
Dalam budaya Sunda, ada pepatah yang sarat makna: Leuleus jeujeur, liat tali.