3. Harmoni: harimau bukan musuh yang harus dibasmi, tetapi tetangga yang harus dipahami dan dihormati.
Dalam konteks modern, jangjawokan adalah simbol konservasi: menjaga jarak, memberi ruang hidup bagi satwa liar, dan mengatur perilaku manusia agar selaras dengan alam.
Jika dulu jangjawokan menjadi pelindung perantara dari-Nya, kini kebijakan, pengetahuan, dan aksi nyata adalah jangjawokan kita yang baru.
Maung dalam Budaya dan Identitas
Harimau hidup di dalam cerita, menjadi simbol, dan kebanggaan orang Sunda.
Legenda Prabu Siliwangi menceritakan bahwa raja Pajajaran dan para pengikutnya menjelma menjadi harimau siluman, menjaga tanah tatar Sunda.
Hingga kini, lambang Tentara Nasional Indonesia Divisi Siliwangi masih menggunakan gambar maung sebagai identitas.
Bahkan, klub sepak bola kebanggaan Jawa Barat, PERSIB Bandung, dikenal dengan julukan Maung Bandung.
Simbol ini lahir dari keyakinan bahwa pemimpin sejati harus memiliki sima yang kuat, daya tarik dan kewibawaan yang membuat orang lain tunduk, bukan karena ketakutan, tapi karena rasa hormat.
Dalam konteks ini, maung menjadi metafora tentang kekuatan yang menjaga, bukan menindas.
Namun, seiring berjalannya waktu, yang tersisa hanyalah simbol di bendera dan yel-yel, sedangkan auman asli maung di hutan semakin jarang terdengar, hingga akhirnya menghilang sama sekali.
Peralihan Dari Legenda ke Kenyataan Pahit
Pada tahun 1987, dunia dikejutkan oleh kabar resmi: harimau Jawa dinyatakan punah.
Tidak ada lagi yang melihat lorengnya di hutan Ujung Kulon atau pegunungan Jawa lainnya.
Namun, keyakinan di desa-desa sering berbeda dengan catatan ilmiah.
Orang-orang tua di kampung saya masih percaya, harimau itu belum benar-benar hilang.
Bagi mereka, maung hanya menghilang sementara, atau memilih tak menampakkan diri pada manusia yang semakin serakah.
Saya memahami keyakinan itu, karena saya sendiri tumbuh dengan cerita nenek.
Bagi kami, harimau adalah roh yang hidup dalam cerita turun-temurun, pengikat identitas dan kebanggaan budaya.
Klimaks: Maung Kumbang yang Turun ke Kampung
Beberapa bulan lalu, kampung kami kembali geger.
Seekor maung kumbang (macan tutul Jawa berwarna hitam) turun dari hutan dan masuk ke pemukiman warga.
Seorang ibu menjadi korban cakarannya, hingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Petugas datang dan menembak bius satwa itu, lalu membawanya kembali ke hutan.
Bagi kebanyakan orang, ini sekadar berita heboh.
Namun bagi saya, peristiwa itu seperti gema dari cerita nenek.
Jika dulu manusia gemetar karena takjub pada maung lodaya, kini ketakutan muncul karena hilangnya jarak antara manusia dan satwa.
Hutan yang dulu menjadi rumah mereka semakin sempit, memaksa mereka keluar mencari makan di wilayah manusia.