Belakangan ini, publik sering dikejutkan oleh pernyataan seorang pejabat yang memicu kegaduhan. Hanya dalam hitungan jam, ucapan itu bisa menyebar luas lewat media dan media sosial, menjadi bahan perbincangan di warung kopi, grup WhatsApp keluarga, hingga trending topic di jagat maya.
Satu kalimat yang mungkin awalnya dimaksudkan sebagai candaan atau perumpamaan, berubah menjadi bahan kritik dan kekecewaan. Tidak jarang, sang pejabat akhirnya terpaksa meminta maaf secara terbuka, bahkan ada yang harus mundur dari jabatan.Â
Fenomena ini menunjukkan bahwa di era digital, kata-kata bukan sekadar suara yang menguap di udara, melainkan jejak yang terekam dan terus diputar ulang oleh publik.
Kearifan Lokal yang Tak Pernah Usang
Orang Sunda sejak lama memiliki pepatah bijak yang berbunyi:
"Jelema mah hade ku omong, goreng ku omong."
Artinya, manusia bisa dipandang baik karena ucapannya, tetapi bisa pula dianggap buruk karenanya. Dalam budaya Sunda, pepatah ini menjadi alarm agar kita senantiasa berhati-hati dalam berkata-kata, sebab ucapan yang keluar tidak bisa ditarik kembali.Â
Sekali terucap, kata itu akan hidup dan berkembang, bahkan bisa menimbulkan akibat yang tak terduga.
Jika kita tarik ke konteks kekinian, pepatah ini terasa begitu relevan. Bayangkan, jika di masa lalu omongan hanya terdengar oleh segelintir orang di sekitar kita, kini satu kalimat bisa menjangkau jutaan orang hanya lewat satu siaran langsung, konferensi pers, atau bahkan sebuah unggahan singkat di media sosial.
Tidak heran, publik kini lebih kritis terhadap ucapan para pejabat. Di satu sisi, mereka berharap pemimpin tampil tegas dan lugas, namun di sisi lain, masyarakat juga menuntut kesantunan dan kecermatan dalam memilih kata.