Ada suka, ada duka, tapi dari sanalah lahir Deblo yang kemudian tersebar ke berbagai pasar dan toko oleh-oleh.
Dari Jemuran ke Toples
Keluar dari Cihideung, Deblo biasanya sudah dalam bentuk kemasan plastik bening, ditutup rapat agar tahan lama. Di toko-toko kue sepanjang Pasar Cisalak, jajaran kemasan ini mudah ditemukan, seolah jadi bagian tak terpisahkan dari denyut pasar.
Kalau sudah sampai rumah, Deblo tak pernah langsung habis. Ia biasanya dipindahkan ke toples kaca, menunggu momen tamu datang atau sekadar teman ngobrol sore. Begitu toples dibuka, aroma singkong goreng dengan bumbu bawang daun dan seledri menyeruak, undangan kecil untuk mencicipi.
Saya masih ingat betul, ketika masih SD dulu, harga Deblo hanya 5 rupiah untuk 5 keping Deblo. Dengan receh di saku, saya bisa merasakan gurihnya, meski hanya sebentar karena tak pernah cukup makan satu. Kini tentu harganya jauh berbeda, tetapi rasa khas itu tetap sama: renyah, gurih, dengan sedikit aroma kencur yang menghangatkan.
Lebih dari Sekadar Camilan
Bagi perantau asal Cisalak seperti saya, Deblo adalah penghubung dengan masa lalu, dengan kampung halaman, dengan keluarga yang dulu duduk melingkar sambil mengunyah bersama.
Kini, Deblo memang sudah bisa ditemukan di toko online atau pasar oleh-oleh, tapi ada yang berbeda ketika membelinya langsung di kampung asal.Â
Ada cerita yang ikut terbawa: tentang ibu-ibu yang masih menjemur Deblo di halaman rumah, tentang anak-anak yang berlari di sekitar jemuran, atau tentang para pedagang yang mengemasnya satu per satu dengan telaten.
Penutup