Banyak orang mengeluhkan commuting perjalanan rutin bolak-balik rumah, kantor, atau sekolah sebagai sumber stres. Macet, capek, waktu habis di jalan. Namun, bagi saya dan keluarga kecil di Bekasi, commuting justru berubah jadi ruang dialog, ruang belajar, sekaligus ruang kreatif.
Perjalanan Singkat, Makna Panjang
Setiap pagi, saya, istri, dan anak berangkat bersama. Kebetulan saya dan istri bekerja di tempat yang sama, sementara sekolah anak berada persis di samping kantor. Jarak dari rumah ke tujuan kurang lebih 5 km. Dalam kondisi normal, perjalanan bisa ditempuh 15 menit saja. Tapi, itu berlaku kalau berangkat sebelum pukul 05.45. Begitu lewat sedikit, macet Bekasi sudah menanti dengan segala konsekuensinya.
Di situlah tantangan kecil kami muncul. Anak saya yang masih SMP, suka gelisah kalau merasa akan kesiangan:
"Yah, kalau kesiangan gimana? Aku bisa kena hukuman, ayah juga nanti gimana di kantor?"
Saya hanya bisa tersenyum. Begitulah realitas hidup kota besar. Kami belajar mengelola waktu dan kompromi. Kalau sudah benar-benar mepet, anak biasanya naik Grab supaya tidak terlambat, sementara saya dan istri pasrah menghadapi macet meski berarti sedikit telat masuk kantor. Bagi kami, pendidikan anak tetap nomor satu.
Obrolan yang Tak Pernah Habis
Di balik potensi stres itu, ternyata ada hal yang paling saya syukuri: perjalanan ini selalu jadi waktu emas untuk berkomunikasi. Saya yang menyetir, istri dan anak di belakang. Sehingga topik obrolan bisa mengalir tanpa henti. Mulai dari masalah sekolah, pekerjaan istri, kabar keluarga, berita aktual, sampai hal-hal remeh seperti menu makan siang.
Uniknya, dari obrolan singkat di jalan itulah sering muncul ide tulisan. Kadang satu kalimat dari anak atau komentar istri bisa memantik gagasan yang kemudian saya kembangkan di Kompasiana. Dengan begitu, commuting kami bukan sekadar memindahkan badan dari satu titik ke titik lain, tapi juga memindahkan gagasan menjadi karya.