Pembukaan: Pemicu Diskusi, Ketusnya Soimah
Belakangan, sebuah potongan podcast Raditya Dika kembali menggelinding di media sosial. Soimah, dengan gaya bicara khasnya yang ceplas-ceplos, menegaskan bahwa dirinya tak segan bersikap ketus pada calon menantunya.Â
Judes? Mungkin, hehe... Tapi justru itulah yang memantik perbincangan hangat: Kalau calon mertua bersikap ketus, apakah hubungan harus tetap dilanjutkan, atau sebaiknya mundur sebelum terluka lebih jauh?
Pertanyaan ini terdengar sederhana, tapi menyentuh lapisan yang lebih dalam menyangkut relasi antarmanusia, restu keluarga, dan cara kita memilih pasangan hidup.
Kearifan Lokal Dan, Din, Dun
Di tanah kelahiran saya, ada kearifan lama yang masih sering dijadikan patokan dalam menimbang jodoh, dikenal dengan istilah Dan, Din, Dun.
- Dan (Dandanan): merujuk pada rupa, termasuk penampilan serta kerapian diri yang mencerminkan penghargaan terhadap diri juga orang lain.
- Din (Agama/Pribadi): merujuk pada karakter kepribadian, kesolehan, dan asal-usul yang baik.
- Dun (Duniawi): merujuk pada harta, pekerjaan, dan kemandirian finansial.
Bagi banyak keluarga tradisional, pasangan yang ideal adalah yang memenuhi ketiga kriteria itu. Tapi, jika harus memilih yang paling utama, banyak orang termasuk keluarga saya lebih mengutamakan Din: pribadi dan akhlak.
Restu Orangtua: Antara Syarat dan Ego
Jika kita kaitkan dengan pernyataan Soimah, sikap ketus seorang calon mertua bisa jadi lahir dari keinginan menjaga anaknya dengan cara yang keras.Â
Mungkin ia sedang menekankan Din, Dan, atau bahkan Dun, sesuai pandangan pribadinya. Tapi, tak jarang sikap ketus malah terasa lebih sebagai ujian ego daripada wujud kasih sayang.
Di sinilah dilema muncul: apakah restu orangtua mutlak, ataukah anak berhak mengambil keputusan meski tanpa restu penuh?Â
Dalam masyarakat kita, restu sering diposisikan sebagai syarat sakral. Tapi pada praktiknya banyak pasangan bertahan, bahkan bahagia meski awalnya tanpa restu.
Relevansi Dan, Din, Dun di Era Modern
Sejatinya, nilai-nilai seperti saling menghargai, berbagi peran, dan tumbuh bersama sebenarnya sudah lama tercakup dalam kearifan lokal Dan, Din, Dun, terutama pada aspek Din.Â
Ia tidak hanya menyoal ritual keagamaan, tetapi juga keluhuran budi, tanggung jawab, dan sikap menghormati pasangan. Jadi, meski kini kita hidup di era kesetaraan gender dan inklusivitas, nilai-nilai itu sebenarnya bukan hal baru, melainkan warisan yang sudah lama ditanamkan oleh leluhur.
Jadi kalau kita tafsir ulang Dan, Din, Dun adalah:
- Dan bukan lagi sekadar fisik, tetapi juga cara membawa diri, sopan santun, dan menghargai pasangan.
Misalnya, seseorang mungkin tidak selalu tampil modis, tapi ia tahu bagaimana bersikap sopan di hadapan orang tua pasangannya dan menghargai waktu bersama.
- Din bukan sekadar label agama, tetapi integritas, kejujuran, dan kedewasaan.
Contohnya, pasangan yang berani berkata jujur meski pahit, menepati janji, dan mampu menenangkan ketika konflik. Itulah Din yang sesungguhnya.
- Dun bukan sekadar harta, tetapi kemampuan berdaya, mengelola hidup, dan tidak membebani pasangan.
Ada orang yang mungkin penghasilannya sederhana, tetapi ia pandai mengatur keuangan, mau bekerja keras, dan tidak lari dari tanggung jawab.
Dengan tafsir ini, kearifan lokal tetap relevan sekaligus lebih manusiawi, tidak mengekang. Ia memberi ruang bagi pasangan untuk tumbuh bersama, bukan sekadar terpaku pada kriteria kaku yang diturunkan masa lalu.
Lanjut atau Tinggalin?
Pertanyaan dari tantangan menulis Kompasiana "Dapat calon mertua ketus, lanjutin atau tinggalin?" jawabannya bisa berbeda pada tiap orang.
- Jika mertua hanya mengetes dengan sikap ketusnya, mungkin ada ruang untuk membuktikan kesungguhan.
- Jika ketus berubah jadi penolakan keras tanpa alasan bijak, setiap pasangan berhak mengevaluasi: apakah hubungan ini sehat untuk jangka panjang?
Karena pada hakikatnya, pernikahan bukan sekadar menyatukan dua insan, tetapi juga dua keluarga. Restu orangtua dan kebahagiaan anak adalah dua sisi mata uang yang saling menguatkan.
Menjaga Warisan, Membaca Zaman
Soimah dengan gaya ketusnya hanyalah pintu masuk menuju refleksi lebih luas. Bagi saya, kearifan lokal seperti Dan, Din, Dun tetaplah warisan berharga yang relevan lintas zaman.Â
Selanjutnya dengan menafsir ulang lebih mendalam, kita bisa menangkap nilai inti yang masih kuat sekaligus menjadikannya lebih membumi dalam konteks kesetaraan dan inklusivitas hari ini.
Karena pada akhirnya, memilih pasangan adalah proses menemukan orang yang bersedia tumbuh bersama dalam suka maupun duka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI